Kisah Kasih Gara-Gara Buah Apel
Pada masa kejayaan
kekhalifahan Islam Abbasiyah, ada seorang pemuda bernama Basyir. Ia tinggal di
sebuah desa di kaki pegunungan, yang letaknya dua hari perjalanan unta dari kota Baghdad .
Basyir ini
dikenal sebagai pemuda yang tampan, saleh, rajin, dan ringan tangan. Ups, ini
bukanya suka memukul, tapi maksudnya suka menolong, gitu. Kalo ngeliat ada
orang tua yang kepayahan membawa barang bawaan dari pasar, Basyir buru-=buru
nawarin bantuan. Zaman itu, bawa air biasanya buat minum biasanya pakai
gerabah. Nah, kalo ada orang tua yang keberatan memanggulnya di kepala, Basyir
juga nggak segan-segan ngebantuin.
Kalo
selesai shalat Ashar sampe waktu masuk maghrib, ia belajar di madrasah
ulama-ulama terkemuka di desanya. Ia juga dikenal cerdas, sehingga nggak heran
kalo diantara teman-temannya, Basyir jadi tempat bertanya perihal Ilmu-ilmu
agama.
Sama
anak-anak kecil, ia juga tekenal sayang, tak jarang, ia sengaja membeli
kue-kue, gula-gula atau kismis untuk dibagi-bagikan. Wah, pokoknya dia ini
pemuda ideal banget, deh.
Basyir
sendiri hidup sama kedua orang tuanya yang sudah tua. Usai shalat shubuh, dia
udah sibuk melakukan berbagai pekerjaan rumah: mulai dari nimba air dari sumur
ke penampungan, sampai menggiling gandum buat keperluan makan sehari-hari. Setelah
itu, ia bakal siap-siap menuju lading gandum milik keluarganya. Lading itu
adanya di kaki bukit, yang di tengah-tengahnya mengalir sungai dangkal namun
cukup deras. Pohon-pohon sitrun dan zaitun tumbuh berderet-deret rapi di
sisi-sisi lading, menjadi tempat yang nyaman bagi burung-burung untuk membuat
sarang. Menjelang tengah hari, biasanya sang ibu bakal mengutus seorang anak
kecil untuk membawa makan siang untuk Basyir.
Suatu hari,
matahari baru saja tergelincir dari atas kepala, shalat dzuhur juga baru kelar
ia tunaikan. Basyir duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, di sisi sungai.
Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya. Kakinya menjuntai, masuk ke dalam air
sehingga air mengalir sejuk di sela-selanya. Uh, segar. Apalagi, jam-jam
segini, mustinyasi Ali, anak kecil yang biasanya nganterin makanan siangnya,
udah nongol. Perutnya sendiri udah mulai kriuk-kriuk.
Lama dia
menunggu, mana nih, si Ali kecil? Zaman itu belum ada HP, jadi boro-boro dia
bisa kirim SMS. Basyir Cuma bisa melotot ke kejahuan, berharap si Ali kecil
nongol.
Namun,
sia-sia. Ya, dia nggak tahu kalo hari itu si Ali mendadak sakit, sehingga dia
emang nggak bisa jalan ke luar rumah. Saat itulah, ia memandang permukaan
sungai. Matanya tertumpu pada sebuah benda bulat kemerahan yang timbul
tenggelam terbawa arus.
“ Subhanallah, apaan tuh? Keliahatannya kayak
buah apel!” pikirnya.
Tanpa pikir
panjang, Basyir melompat ke sungai yang airnya Cuma setinggi lutut. Allah Maha
Pmurah. Benda itu ternyata emang benar sebuah apel merah sebesar kepalan
tangan. Segar.
“Waduh,
rejeki, nih!” serunya girang pula. Karena lapar, bismillaah, ia cepat-cepat
melahapnya. Nikmat…….
Eh, baru
juga beberapa gigitan, Basyir ingat sesuatu.
“Astaghfurullah,
siapa pemilik apel ini? Sayakan belum minta izin sama yang punya.” Basyir
nyaris tersedak. Reflek, ia buang sisa apel yang masih ada di mulutnya. Tapi
kan, sebahagian sudah melengang masuk dalam perutnya. Ini yang membuat Basyir
pucat pasi. “ Ya Allah, ampuni saya! Saya udah makan makanan yang bukan hak
saya.”
Basyir
sadar, ia harus minta keikhlasan dari pemilik apel itu. Kalo nggak, apel itu
udah jadi barang haram baginya. Aduh! Basyir ingat pelajaran di madrasahnya.
Sabda Nabi, jika barang haram yang termakan, maka akan menjadi daging yang di
bakar oleh api neraka.
Cemas dan
khawatir, Basyir bangkit. Rasa laparnya sekonyong-konyong raib entah kemana.
Tekadnya udah bulat.
“saya mesti
temuin orang yang punya apel ini, minta keikhlasan dari pemiliknya, “ gumamnya.
Sisa apel yang belum dimakan di ambil lagi dan dia kantungi. Basyir lantas
pergi menyusuri tepi sungai, berjalan mendaki kea rah hulu sungai. Ia ingat
pada sebuah desa di perbukitan sana, yang emang banyak memiliki kebun apel.
Menjelang
matahari tergelincir dan masuk waktu Ashar, Basyir tiba disebuah kebun apel
yang luas pada desa yang dituju. Ia celingukan, dan emang kayaknya apel-apel
yang lebat di pohon-pohon itu, sama dengan yang baru ia kunyah sekian jam yang
lalu. Apalagi, kebun itu terletak persisi di tepi sungai. Masuk akal kan, kalo
ada sebutir yang jatuh, terus kebawa arus sungai ke tempat lading gandumnya?
Dengan
mantap, Basyir melangkah masuk ke dalam kebun, dan menjumpai seorang pria tua,
dengan wajah yang teduh dan tubuhnya yang subur, berpakaian bagus dan jubah
yang halus, sedang berkeliling diiringi beberapa tukang kebunnya. Janggut putih
yang tumbuh rapi di wajahnya bikin hati Basyir jadi lega. Orang tua itu tampak
sibuk member petunjuk pada tukang-tukang itu.
Melihat itu
semua, dalam hati Basyir berkata, “ Ah, orang tua ini pasti pemilik kebun apel
yang saya cari-cari. Kayaknya sdia juga orang alim dan baik, nih.”
Basyir
segera menghampirinya, memberi salam dengan ta’zim sambil berkata, “ Wahai tuan
pemilik kebun yang mulia, terimalah salamku. Saya mohon maaf atas kelancangan
saya mengganggu kesibukan tuan.”
Orang tua
itu terkejut rada kaget juga melihat kedatangan Basyir. Tapi rasa kaget itu
sekejap hilang, begitu didengarnya kalimat yang penuh sopan santun itu. Kini
giliran Sang Bapak yang tersenyum,
“Alaykum
salam, selamat datang anak muda. Kelihatannya kamu bukan penduduk desa kami,
ya? Apa keperluanmu?” ujarnya ramah.
Dapat
sambutan yang juga ramah, Basyir pun lega. Akhirnya dia langsung cerita tentang
dirinya, asal kediamannya, sampai dengan buah apel yang ditemuinya, dan
perjalanannya mencari pemilik buah apel itu.
“Jadi, pak.
Saya ma uterus terang. Apa benar ini apel milik bapak?” Tanya Basyir sambil
nunjukin sisa buah apel yang nggak jadi dimakannya.
Orang tua itu
tersenyum, dan menjawab, “Wah, emang bener tuh, apel itu emang hasil dari kebun
saya. Yah, ini kan apel jenis terbaik dari sini. Kalo apel Malang, tentu saja
kamu harus mencarinya di Indonesia. Eh, kok jadi ngelantur. Maaf, maaf. ‘tuh,
kamu lihat sendiri, kan?” sambil berkata, orang tua itu menunjuk pada buah-buah
apel yang bergelantungan di pepohonan.
“Nah,” kata
Basyir lega, “ sekarang, saya mohon keikhlasan dari bapak, karena saya udah
makan buah apel dari kebun bapak ini tanpa meminta izin sebelumnya. “ kata
Basyir lega,
Sang bapak
itu diam-diam kagum menyaksikan tekad si Basyir. Kalo mau, bisa aja dia diam.
Siapa sih, yang peduli dama apel satu biji diantara ribuan apelnya ini? Kok ada
ya, anak muda kayak gini?
Para tukang
kebun yang melihat kejadian ini pun diam-diam saling berbisik. Siapa sih actor
sinetron, eh, anak muda gagah dan tampan ini, yang tutur katanya begitu sopan
mempesona, yang akhlak dan sikap hati-hatinya begitu mulia, dan rela menempuh
jalan jauh Cuma untuk mendapatkan keikhlasan sebuah apel?
“Ehm, nama
kamu siapa, anak muda?”
“Saya? Oh,
saya Basyir, pak.”
“Oke,
Basyir. “ akhirnya bapak itu berkata setelah terdiam agak lama “ tapi saya Cuma
mau mengikhlaskan buah apel itu, dengan satu syarat.”
“Syarat apa
ya, pak?” Tanya Basyir. Dalam hati, ia udah siap mental, kalo emang sampai
diperintahkan melakukan apa saja. Ibaratnya, disuruh membersihkan kebun seluas
ini seharian juga, dia terima. Yang penting, si bapak itu ikhlas sama apelnya
yang udah dia makan.
“Syaratnya
gampang, Syir. Kamu mesti nikah sama putriku,” ujar bapak pemilik kebun itu
kalem.
Hah? Nggak
salah denger, nih?
Tapi,
sebelum Basyir sempat melompat teriak Yes! Yes! Yes! Karena bakal dikawinkan,
si bapak itu buru-buru melanjutkan,
“Tapi kamu
musti tahu, Basyir. Putriku itu adalah seorang gadis yang tuli, buta, bisu dan
pincang. Bagaimana?”
Basyir
tertegun. Niatnya histeris kegirangan langsung terbang, berganti dengan batin
yang diliputi rasa bimbang. Duh, syaratnya kok gini amat?apa-apaan nih? Tapi
dasar pemuda shaleh, Basyir sadar nggak mungkin dia menjilat ludah sendiri.
Akhirnya, dengan mantap iaberkata, “Baiklah, insya Allah saya bersedia menerima
syarat itu.”
Saat itu
juga, panggung terbuka, dan music ala royal
philharmonic orchestra berkumandang dengan megahnya. Eh, itu sih khayalan
saya. Bukan. Maksud saya, saat itu juga, bapak pemilik kebun menjabat tangan
kanan Basyir dan ijab Kabul singkatpun terjadi. Masih separo nggak percaya,
Basyir dan mertua barunya itu kini berjalan keluar kebun, menuju sebuah rumah
besar dengan pilar-pilar dan air mancur di tengah-tengah halamannya. Rumah yang
megah itu terletak di pusat desa. Bapak tua itu masuk lebih dahulu untuk member
tahu putrinya kalo kini, dia sudah bersuami.
Saambil
menunggu, Basyir termangu. Dalam hati ia berdo’a, “Ya Allah, tolong kuatkan
hati saya dalam menerima keputusan-Mu. Saya mohon petunjuk-Mu, karena semua
kulakukan demi mendapat keridhoan-Mu.”
Nggak lama
kemudian, sang ayah mertua keluar dari dalam rumah. Sambil menunjuk kea rah
sebuah kamar, ia berkata, “Basyir, sekarang kamu temui istrimu.”
Basyir
mengangguk. Sumpah! Hatinya deg-degan abis, membayangkan istri macem apa yang
bakal dijumpainya.
“Tapi, kamu
mesti tahu,Basyir. Putriku itu adalah seorang gadis yang tuli, buta, bisu, dan
pincang. Bagaimana?” kata-kata pemilik kebun, eh, papa mertuanya itu, kembali
terngiang di kepalanya.
Akhirnya
Basyir sampai juga di depan kamar yang dituju. Pelan-pelan, ia mengucap salam
dan lambat-lambat mengetuk pintu. Yah, dia toh nggak bakal denger juga, gumam Basyir.
Cuma, tahu-tahu terdengar sahutan lembut lagi merdu menjawab salam yang ia
ucapkan…”
“Wa’alaikumsalam,
selamat datang suamiku…”
Basyir
terkejut, darahnya serasa kering seketika. Lho, katanyua tuli? Tapi, ah,
pantang mundur, nih. Ia kuatkan hati, dan melangkah masuk meski dengan langkah
ragu. Usai empat langkah yang terasa berat, dihadapannya kini terlihat seorang
wanita dengan cadar menutupi mukanya, tengah duduk seperti sudah lama menantinya.
Nah, waktu melihat Basyir, perlahan dan anggun, wanita itu membuka cadarnya.
Basyir
nyaris pingsan. Gabungan wajah 10 miss universe itu kini tampak di hadapannya.
Bidadari! Aku melihat bidadari syurga! Basyir terperangah dan mencubit kulit
lengannya sendiri sakit!
“Ya Allah!
Aku nggak mimpikan, tapi, masya Allah, ia nggak buta. Dia menjawab salamku, itu
artinya dia nggak bisu dan tuli!” Basyir berteriak dalam hati. Apalagi, sang
dara jelita tiada tara itu kini melangkah menghampirinya, meraih tangan Basyir
dan menciumnya dengan takzim. Ia bergerak dan berjalan dengan sempurna. Tidak
pincang seperti yang digambarkan oleh ayahnya.
Tapi
seketika itu juga Basyir tersadar. Ia yakin ada sesuatu yang nggak beres.
Dengan meminta maaf, cepat-cepat ia keluar dan mencari-cari sang mertua.
Dilihatnya, sang papa mertua sedang duduk di teras rumah, buru-buru Basyir
menghampiri.
“Eh, kamu
nak Basyir. Ada apa?” tegurnya ramah, meski agak kaget melihat Basyir yang
muncul tiba-tiba.
“oh bapak.
Maafkan saya, saya….demi Allah, saya ikhlas dengan syarat yang bapak minta dari
saya. Tapi mungkin saya salah menerimanya. Putrid bapak, dia…..anu…..eh….”
“Ya,
anakku, ada apa dengan dia?”
“Pak, dia
nggak buta, dia nggak tuli, dia nggak bisu dan pincang seperti yang bapak
gambarkan, jadi bapak mungkin salah memberikan putrid yang bapak maksudkan…”
Sang papa
mertua tersenyum lebar. Lagi-lagi dia merasa bahagia. Aku nggak salah pilih!
Anak muda ini bener-bener punya integritas diri yang luar biasa, begitu
kira-kira dia membatin kalo dia hidup di jama sekarang. Dia tepuk pundak
Basyir, dan kemudia menyuruhnya duduk.
“Basyir,
anak saya emang buta, karena sepengetahuan saya, matanya senantiasa terjaga
dari hal-hal yang diharamkan Allah ta’aala. Begitu juga telinganya, ia selalu
gunakan untuk mendengarkan hal-hal terpuji, dan karenanya aku pikir dia tuli
dari hal-hal tak berguna.”
Sang papa
mertua diam sebentar, melihat reaksi Basyir. Lalu,
“Mulutnya,
ah, lebih sering dia gunakan untuk berdzikir menyebut nama-Nya, mengucapkan
kata-kata dengan sesama, dan jauh dari pembicaraan yang sia-sia dan nggak
berguna. Ia juga pincang, kalo musti pergi ke tempat-tempat dugem dan maksiat,
karena memang, sejauh sepengetahuanku, langkahnya selalu digunakan untuk
hal-hal yang bermanfaat dan pada keta’atan. Nah, sekarang kamu mengertikan,
Basyir?”
Basyir kembali
bengong. Oh, jadi init oh, maksudnya? Tapi cepat-cepat ia menukas, “lantas,
kenapa bapak memilih saya?sayakan baru bapak kenal, sementara putrid bapak,
mestinya dia dapet orang yang jauh lebih tajir dan sholeh daripada saya.”
Kini senyum
sang papa mertua semakin mengembang.
“Saya
yakin, tindakan kamu mencariku untuk meminta keikhlasan atas apel dari kebunku,
adalah petunjuk Allah tentang siapa diri kamu sebenarnya. Padahal, apalah
artinya sebuah apel diantara ribuan apel dari kebunku ini? Tapi, Basyir, demi
Allah, kamu sudah membuktikan keta’atanmu dan rasa takutmu kepada Allah SWT,
dengan cara yang begitu indah. Makanya, saya yakin saja, kamulah jodoh yang
disiapkan Allah SWT untuk menjadi suami dari putriku.”
Singkatnya,
Basyir hidup berbahagia dengan istrinya yang canti dan shaleha itu. Pernikahan
itu membuahkan seorang putra, yang oleh mereka diberi nama Nu’man.
Kelak di
kemudian hari, Nu’man bin Basyir dikenal sebagai seorang ulama besar yang
melimpah ilmunya, termasyur kehalusan budinya dan keuliaan akhlaknya, keteguha
sikapnya, arif dan bijaksana. Dan Nu’man bin Basyir, lebih dikenal dengan nama
Imam Abu Hanifah, pelopor madzhab Hanafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar