Berhaji
Meski Gak Pergi
Berhaji tanpa pergi?
Kalo soal
ini, kita mesti baca kisahnya Abdullah bin Mubarak, seorang ulama yang kondang
banget keluasan ilmu dan akhlaknya. Ahli ibadah dan mencintai hidup yang
bersahaja, sehingga dia dikenal juga sebagai seorang sufi. Beliau hidup pada
masa khalifah al Mutawakkil di zaman kekhalifahan Abbasiyah.
Ibnul
Mubarak uga di kenal sebagai ahli hadits. Kita tahukan, kalau ilmu hadits adalah
ilmu yang membahas perihal berita-berita tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW,
sehingga nggak heran, kalo majelis ilmu yang dipimpinnya selalu diramaikan sama
jama’ah yang rindu mendengar kisah-kisah Rasulullah SAW.
Namanya
juga sufi, beliau terbiasa berhati-hati dalam menjaga diri. Konon, saking
hati-hatinya, Abdullah bin Mubarak pernah menempuh perjalanan jauh ke kota Damaskus selama
berhari-hari, Cuma untuk mengembalikan pena yang dia pinjem dari seorang teman.
Beliau juga
kondang karena kebaikan akhlaknya, sehingga dicintai para ttetangga.
Sampai-sampai, ada seorang yahudi tetangganya, sewaktu menjual rumahnya, ia
berani kasih harga dua kali lipat dari harga pasaran, yakni 2000 dinar.
“mahal
amat!” gerutu seorang calon pembeli.
Apa jawab
yahudi itu?
“harga
pasaran rumahku ini emang 1000 dinar. Nah, yang 1000 dinar itu harga karena
bertetangga sama Ibnul Mubarak.”
Karena
kemahalan, transaksi batal. Tapi, obrolan itu kedengeran sama Ibnul Mubarak.
Dia datangi tetangganya itu sambil member uang 1000 dinar dan menyuruhnya agar
jangan pindah.
Yah,
begitulah kemuliaan akhlak Abdullah bin Mubarak, sampai-sampai namanya jadi
ikut-ikutan menaikkan harga property eh, kok jadi ngaco begini?
Nah, suatu
hari, tiba saatnya musim haji. Badullah bin Mubarak menyambut saat itu denga
penuh suka cita dan segera bersiap-siap untuk berangkat dengan para muridnya.
Begitu siap, rombongan Abdullah bin Mubarak pun berangkat. Perjalanan bisa
memakan waktu sebulan, lho! Iya, kala itu belum ada pesawat terbang atau bus
malem, kan ?
Apalagi busway dan becak way…..
Rombongan
Ibnul Mubarak tiba dan bergabung dengan ribuan jama’ah haji, yang datang dari
berbagai penjuru dunia. Mereka berbondong-bondong memasuki kota suci Mekkah. Wah, jalan-jalan Mekkah
penuh dengan debu dan orang ytang berlalu lalang. Ramai sekali.
Beberapa
hari kemudian, saat usai melakukan Thawaf atau berjalan mengelilingi ka’bah, karena
kelelahan, Ibnul Mubarak mengantuk luar biasa. Saking payahnya, beliau akhirnya
tertidur di bawah ka’bah. Waduh, kalo sekarang, beliau pasti sudah diseret sama
askar (penjaga) kerajaan. Untung waktu itu belum ada, ya?
Nah, dalam
tidurnya, beliau bermimpi, melihat dua malaikat turun dari langit, dan
mengamati para jama’ah yang jumlahnya ribuan orang itu. Mereka tentu bukan Cuma
jalan-jalan iseng, Karena ternyata karena ternyata mereka juga sibuk mencatat sana-sini.
Iyalah, namanya juga malaikat!
Malaikat
yang satunya bertanya
“Berapa
orang yang pergi haji tahun ini?”
“Wah,
seratus ribu orang lebih,” jawab malaikat kedua sambil memerhatikan catatannya
“ Lalu, berapa
orang yang diterima hajinya?”
Malaikat
kedua membolak-balikan catatannya.
“Tidak
seorang pun,” jawabnya tandas.
Ibnul
Mubarak terkejut mendengar percakapan itu.
Hah?
Bagaimana mungkin? Seratus ribu orang yang pergi haji dari berbagai tempat yang
jauh, dengan rambut yang kusut masai terkena debu gurun, dan onta-onta yagn
kurus kering, saking jauhnya berjalan. Masa’ iya, tak satupun yang diterima? Apakah
malaikat ini salah mencatat atau salah meneliti? Nggak mungkin.
Saat itulah
malaikat kedua berkata,
“Hei,
tunggu, tunggu dulu. Ada ,
ada kok yang hajinya diterima. Tapi, Cuma satu orang, brother.”
“siapakah
dia?” Tanya malaikat pertama.
“Namanya…..ah,
ini dia. Namanya Ali bin al Muwaffaq.
Dia orang Damaskus. Cuma dia nih, yang ibadah hajinya diterima.
Tapi, eh, ini aneh…”
“Apanya
yang aneh?”
“Maha suci
Allah dengan segala karunia-Nya. Hanya dia yang diterima, padahal ia tidak
berangkat dan hadir di tanah suci ini.”
How come?
Saking kagetnya, Ibnul Mubarak terjaga dari tidurnya. Sambil menenangkan diri,
beliau tercenung. Ia yakin, mimpi itu bukanlah mimpi sembarangan.
Jadi,
diantara ribuan orang ini, hanya satu orang yang diterima? Padahal ia nggak
pergi dan hadir di tempat ini? Bagaimana mungkin? Ali bin al Muwaffaq. Siapa
dia? Hebat bener nih, orang! Aneka pertanyaan spontan bergelayutan di benaknya.
Abdullah
bin Mubarak jelas penasaran sama mimpinya itu. Makanya, usai musim haji, Ibnul
Mubarak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Damaskus. Ia bertekad akan mencari tahu,
siapa sih Ibnul Muwaffaq? Kok, bisa-bisanya dia nggak masuk daftar eliminasi
sendirian? Pastilah ia seseorang yang amat istimewa, sehingga Allah SWT
menghadirkan namanya dalam mimpinya.
Kita
mengerti kenapa Ibnul Mubarak berfikir kayak gitu, karena mimpi seorang mukmin,
menurut sabda Nabi Muhammad SAW, adalah 1/46 dari wahyu kenabian.
Kota
Damaskus masih ada sampai sekarang, lho! Yaitu, ibukota Negara Syria .
Jaraknya, ribuan kilometer dari kota
Mekkah. Jadi, wajar jika sebulan penuh kemudian, Ibnul Mubarak baru tiba di kota Damaskus. Setelah
bertanya kesana kemari, akhirnya Ibnul Mubarak tiba di rumah Ali bin al
Muwafffaq, yang ternyata adalah seorang tukang sepatu.
Tok, tok,
tok!
Pintu
terbuka dan seraut wajah ramah dengan air muka berseri-seri, menyambut
kedatangannya. Rupanya, Ali bin al Muwaffaq sendirilah yang membuka pintu.
Abdullah bin Mubarak lantas memperkenalkan diri, dan ternyata Ali bin al
Muwaffaq telah mendengar nama Abdullah bin Mubarak. Wah, jelas dia bahagia banget
karena seorang ulama kondang telah datang. Ibnul Muwaffaq memeluknya, dan
dengan hangat segera mempersilahkan masuk.
Usai saling
bertegur sapa, akhirnya Ibnul Mubarak menceritakan maksud kedatanganya, tentang
mimpinya dan bagaimana malaikat menyebut-nyebut nama Ali bin al Muwaffaq.
“Padahal
mad Ali ndak pergi hajikan, tahun ini?” tegas Ibnul Mubarak.
“Nggak sama
sekali,” jawab Ali bin al Muwaffaq dengan kagetnya. Kalo bukan Abdullah bin
Mubarak yang ngomong, mana dia percaya.
“Nah, mas
Ali,” lanjut Ibnul Mubarak dengan penasaran, “kalo gitu, tolong beri tahu saya,
apa kira-kira amal perbuatanmu, sehingga kamu bisa begitu beruntung, padahal
kamu sendiri nggak pergi haji?”Ali bin al Muwaffaq diam sejenak. Perasaannya
campur aduk. Bingung, kaget campur haru, pria separuh baya ini mati-matian
menenangkan diri. Akhirnya, lamat-lamat ia berkata,
“Pak
Mubarak, siapa sih yang nggak pengen pergi haji” terus terang aja,
bertahun-tahun lamanya saya menabung agar bisa pergi ibadah haji. Semua itu
saya kumpulkan dari hasil keringat bikin dan reparasi sepatu, agar ia
betul-betul halal. Tahu ini, sebetulnya saya sudah menghitung-hitung, dan saya
girang, karena tabungan saya telah mencapai 300 dinar. Pikir saya, h, udah
cukup nih, buat bekal menunaikan haji.
Eh, tepat
di hari saya mau berangkat, tiba-tiba bau masakan yang gurih dan lezat, mampir
ke rumah kami. Selidik punya selidik, bau itu kayak sop daging, datang dari
tetangga sebelah. Asal tau aja. Wahai Ibnul Mubarak, tetangga kami itu janda
dengan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Jadi, istri saya bilang; papah,
kayaknya mamah ingin nyobain masakan tetangga kita itu. Minta dong, barang
semangkok. Jadi, saya pergi dan minta barang semangkok sup.
|
Dan bertanya pada si ibu tadi kenapa bisa begitu. Akhirya,
dia ngaku kalo yang dia masak itu bangkai keledai. Dia bercerita kalo mereka
udah nggak makan selama beberapa hari. Jadi, daripada anak-anaknya terus
kelaparan, pas ketemu bangkai keledai, dia ambil aja dagingnya dan itulah yang
dia masak agar keluarganya bisa makan.”
“Ya Allah,
saya kaget banget!saya pikir, aduh, saya bisa dosa, nih! Padahal, saya pernah
dengar sabda Rasul SAW, nggak beriman kita, kalo kita kenyang, sementara
tetangga kita kelaparan. Jadinya, tanpa piker panjang, saya serahkan aja 300
dinar hasil tabungan bekal haji saya itu sama dia. Itulah sebabnya saya nggak
bisa berangkat pergi menunaikan haji. Tapi, saya lega, pak Mubarak. Setidaknya,
saya nggak termasuk muslim yang menyia-nyiakan tetangga.”
Kini
giliran Abdullah bin Mubarak yang terharu. Sekarang, beliau baru sadar, ini dia
nih, rahasia di balik mimpinaya itu. Keikhlasan Ibnul Muwaffaq emang
bener-bener luar biasa. Dia mampu mengalahkan keinginan dirinya Cuma untuk
menolong tetangganya yang kelaparan. Jadi, Abdullah bin Mubarak sadar, wajar
aja kalo Ibnul Muwaffaq mendapat kemuliaan yang lebih tinggi, lebih dari orang
yang pergi haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar