Tabib
yang sebenarnya
Suatu kali Junaid merasa
sakit pada matanya. Jadi, iapun memanggil seorang tabib yang beragama Nasrani.
Usai memeriksa mata Junaid, sang tabib
berpesan.
“kalo nanti
matamu terasa berdenyut-denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,”
nasihatnya.
Eh, begitu
sang tabib pergi, Junaid malah berwudhu, shalat, kemudian pergi tidur. Ketika ia
bangun matanya malah sembuh. Lalu, saat itu ia mendengar sebuah suara berkata,
“Junaid sudah mengabaikan matanya demi meraih keridhaan kami. Jika demi tujuan
yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya
itu akan kami kabulkan.”
Seperti
baiasa, pagi itu Junaid pun keluar rumah. Di jalan, tak berapa lama kemudian,
ia berpapasan dengan sang tabib yang memeriksa mata Junaid. Wah, sang tabib
merasa surprise juga, karena dilihatnya mata Junaid telah sembuh.
“Hai
Junaid, apa yang kamu lakukan?” Tanya sang tabib.
“ah, saya
minta maaf udah melanggar nasihatmu. Saya berwudhu untuk shalat,” jawab Junaid.
Konon
mendengar itu, seketika itu pula sang tabib mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Ini adalah
penyembuhan sang pencipta, bukan makhluk,” komentar tabib tersebut waktu dia
ditanya kenapa dia spontan masuk islam. “Junaid, kalo begini, sebenarnya mata
sayalah yang sakit, bukan matamu. Kamulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.”
Ingin
bertemu iblis
Suatu hari, entah ada
angina pa, Junaid tiba-tiba kepikiran pengen ngeliat iblis. Dia lalu berdiri di
depan pintu masjid. Eh, nggak lama, Junaid ngeliat seorang lelaki tua mendekat
dari kejauhan. Saat dia memandangnya, rasa ngeri tiba-tiba memasuki dirinya.
“Siapa
kamu?” Tanya Junaid.
“Yang
engkau ingin temui.”
“Sang
terkutuk,” Junaid memekik. “ Apa yang membuat kamu tidak mau sujud kepada
Adam?”
Iblis
menyeringai, “Bagaimana kalo kamu jadi saya, Junaid?apakah saya harus menyembah
selain diri-Nya?”
Sejenak,
Junaid mengaku merasa bingung mendengar perkataan iblis ini. (sama! Saya juga.
Gile bener nih, si iblis. Pinter banget ngelesnya.) tapi kemudian, sebuah suara
berkata direlung hatinya,
“Katakanlah
(pada iblis), ‘Dasar kamu pembohong! Kalo kamu bener-bener hamba Allah yang
sejati, kamu pasti menuruti perintah-Nya. Kamu nggak bakal pernah mengabaikan-Nya
dan bermain-main dengan penyangkalan.”
Spontan,
Juniad meniru kata-kata itu, dan saat iblis mendengar kata-kata itu, ia pun
berteriak keras, “ Demi Allah, Junaid. Engkau telah menghancurkan ku!” kemudian
iblis itupun lenyap.
Menjaga
pikiran
Kisah ini juga soal
gimana kerasnya seorang sufi dijaga ama Allah, bahkan dari pikiran yang buruk,
karena pikiran yang buruk itu bisa merusak amal kebaikan yang udah susah payah
kita lakukan. Dan ini terjadi juga pada Junaid.
Suatu
siang, majlis ilmu yang dipimpin oleh Junaid baru aja selesai. Eh, tahu-tahu,
seorang lelaki bangkit dan mulai mengemis di antara para jama’ah. Padahal, kalo
ngeliat potongannya, ini cowok mestinya mah sehat bener. Ngeliat hal itu,
Junaid sempat membatin.
“wah, cowok
itu kelihatannya bener-bener sehat wal’afiat. Mestinya sih, dia mampu bekerja
buat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi, kanapa dia malah mengemis dan
menghinakan dirinya sendiri?”
Nah, nggak
tahunya, malam itu, Junaid bermimpi hadir di sebuah jamuan makan. Lantas,
sebuah nampan dengan hidangan tertutup disuguhkan di hadapannya.
“makanlah
Junaid,” terdengar sebuah suara mempersilakan.
Saat Junaid
membuka penutup wadah hidangan itu, waduh, dia terkejut! Yang dia lihat, lelaki
yang mengemis tadi siang di majlisnya, terbaring tak bernyawa di wadah itu.
“Apa-apaan
nih? Saya nggak makan daging manusia, “ protesnya.
“ Lalu,
mengapa kamu kemarin berbuat hal itu di masjid?” Tanya suara itu lagi.
Mendengar
teguran itu, Junaid tersentak, sampe terbangun saking kagetnya. Ia langsung
teringat sama lelaki yang mengemis dimajlis siang tadi. Buru-buru Junaid sadar,
kalo ia bersalah telah menghujat pengemis itu dalam hatinya. Mimpi itu, dia
yakin banget, adalah teguran karena pikiran buruknya itu.
Dalam
memorynya, Junaid mengisahkan
“Saya
terjaga dalam ketakutan. Cepat-cepat saya berwudhu dan shalat dua rakaat. Malam
itu juga, buru-buru saya pergi mencari pengemis itu. Lalu, saya lihat dia ada
di tepi sungai Tigris, sedang memunguti sisa-sisa sayuran yang di cuci
orang-orang di sana
dan dia pun memakannya…”
“…..lelaki
itu mengangkat kepalanya, melihat saya yang berjalan menghampirinya. Ia lantas
menyapa, Junaid, apa kamu udah bertobat atas pikiran-pikiranmu itu tentang
aku?”
“Ya, saya
udah tobat…” jawab saya lemah.
“kalau
begitu, pergilah. Kali ini, jagalah pikiran-pikiranmu!”
Nah,
kisah-kisah semacam inilah, antara lain, yang membekas kuat pada diri saya.
Bagi para sufi dan wali Allah sejati, nggak adal peluang sedikitpun untuk
merasa dirinya sombong terhadap orang lain, meskipun amal ibadahnya udah
segunung.
Buat kita
barang kali, jangankan Cuma menggumam, kayaknya kalo ngobrol nggak ngomongin
orang, rasanya seperti sayur kurang bunbu! Padahal, ngomongin kejelekan orang
alias ghibah itu, emang digambarkan oleh Al Qur’an sebagai, “memakan daging
saudaramu sendiri yang sudah mati…” (QS. Al Hujarat, 49:12)
Ih,
jijikan?nah, karena Allah Maha Sayang pada hamba-hamba-NYa yang ikhlas itu, DIA
juga nggak rela hati hamba-NYA terkasih itu di kotori, even oleh prasangka
buruk dan rasa sombong sebiji sawi pun! Kalo kita gimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar