Nasihat
Ibrahim bin Adham untuk ahli maksiat
Mungkin kamu pernah
didatengi sama temen yang terkenal doyan maksiat. Tapi, tahu-tahu dia ngomong
gini sama kamu:
“Gue tahu tiu salah,
tapi gimana dong, car ague berhenti?”
Nah, kalo
kebetulan kamu pumya temen lantas dia curhatnya begini, jawaban Ibrahim kayanya
top banget buat kamu jadiin inspirasi. Urusan nasehatin orang, Ibrahim bin
Adham tuh ngerti banget soal psikologi manusia. Contohnya aja kisah berikut
ini.
Suatu hari,
seorang dowok yang kondang doyan banget maksiat, datang nemuin Ibrahim bin
Adham. Cowok itu namanya Jahdar bin Rabi’ah. Mula-mula, Ibrahim sempet heran
juga. Mau ngapain Jahdar nyari dia? Eh, rupanya Jahdar minta nasehat sama
Ibrahim caranya supaya dia berhenti dari perbuatan maksiat. Nah, seru kan ?
“Ya Aba
Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), saya ini orang yang doyan banget ngelakuin
perbuatan maksiat. Tolong beri tahu saya, cara yang ampuh biar saya mau
berhenti ngelakuin itu semua.”
Setelah
merenung sejenak, Ibrahim berkata, “kalo kamu mampu melaksanakan lima syarat yang aku
ajukan, aku nggak keberatan kamu berbuat dosa.”
Terang aja
Jahdar bengong. Nggak salah, nih? Mau nanya gimana caranya supaya saya tobat,
eh, malah dikasih peluang buat terus-terusan maksiat. Karena masih penasaran,
Jahdar balik bertanya,
“Ehm,..apa
aja syarat-syaratnya, Aba Ishak?”
“Syarat
pertama, kalo kamu melaksanakan perbuatan maksiat, jangan kamu makan rezeki
Allah!” ucap Ibrahim.
“Terang aja
Jahdar garuk-garuk kepala. Gitu-gitu juga, Jahdar ngerti kalo yang ngasih
rejeki itukan Allah. Kemudian Jahdar bertanya dengan penuh keheranan,
“Lho,
lantas saya makan darimana? Bukankah segala sesuatu yang berada di Bumi ini
adalah rezeki Allah?”
“Makanya,”
jawab Ibrahim dengan tegas , “Kalo emang kamu udah tahu begitu, apa masih
pantes kamu makan rejeki dari Allah, sementara kamu terus-terusan melakukan
maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”
“Waduh, iya
juga sih,” jawab Jahdar malu-malu, “kemudian, apa syarat yang kedua?”
“Kalo kamu
bermaksia kepada Allah, kamu janga tinggal di bumi-Nya, “kata Ibrahim lebih
tegas lagi.
Kontan
Jahdar berteriak kaget. “APA? Syarat ini lebih gila lagi! Lalu saya harus
tnggal dimana?bukankah bumi ini denga segala isinya adalah milik Allah?”
“Bener!
Bener banget Jahdar temanku! Karena itu pikirkanlah baik-baik, apa kamu masih
pantes memakan rejeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kamu terus berbuat
maksiat?”Tanya Ibrahim.
“Aduh, kam
bener, Aba Ishak,” ucap Jahdar lesu, “lalu apa syarat yang ke tiga? “lanjutnya
denga lemas dan juga penasaran.
“Okelah!
Kalo kamu masih ingin bermaksiat kepada Allah, tapi juga masih ingin makan
rejeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, ya udah, cari aja tempat bersembunyi
dari-Nya.”
Jahdar yang
udah mulai ngerti kea rah mana omongan Ibrahim bin Adham, menggeleng lemah. “Ya
Aba Ishak, nasihat macem apa semua ini? Mana mungkin Allah nggak melihat kita?”
“Ya, emang
iya! Kalo kamu yakin Allah selalu melihat kita, tapi kamu masih ingin terus
memakan rejeki dari-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat
kepada-Nya, apa kamu pantes melakukan semua itu?” Tanya Ibrahim pada Jahdar
yang mulai Nampak bingung dan gelisah.
Semua
ucapan Ibrahim itu, yang disampaikan dengan tetap lemah lembut, membuat Jahdar
bin Rabi’ah nggak berkutik dan membenarkannya. “Baik, baik, ya Aba Ishak. Lalu
katakana sekarang, apa syarat keempat?”
“Kalo
malaikat maut datang mau mencabut nyawa kamu, bilang sama dia, kalo kamu beum
mau mati Karena belum bertaubat dan masih pengen melakukan amal shaleh.”
“Whaduuh,”
kelu Jahdar, “nggak mungkin, nggak mungkin semua itu aku lakukan.”
“Jahdar
kawanku! Kalo kamu nggak bisa mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara
apa kau bisa menghindar dari murka Allah?”
“Kayaknya
kamu memang bikin saya nggak bisa berkutik, Aba Ishak. Jadi, apa syarat ke lima ?”
“Yan
terakhir, kalo malaikat Zabaniyah mau mengiring kamu ke neraka di hari kiamat
nanti, kamu jangan mau. Cobalah tolak dia mati-matian, dan jauhi dia!”
Lama Jahdar
terdiam. Wajahnya menunduk, seolah ada burung yang bertengger di kepalanya.
Lalu, perlahan-lahan butir-butir bening mulai bergulir dari sudut matanya.
Jahdar, cowok tulen yang doyan maksiat itu, menangis penuh penyesalan.
“Cukup….cukup,
ya Aba Ishak! Jangan kamu teruskan lagi. Saya nggak sanggup lagi mendengarnya.
Saya janji, mulai sat ini saya bakal istighfar dan taubat nasuha kepada Allah.”
Jahdar
memang menepati janjinya. Sejak pertemuan itu, ia bener-bener berubah.
Semua itu
terjadi karena Ibrahim bukan ngamuk-ngamuk menyalahkan Jahdar, tapi justru
denga kelembutan sikapnya, Jahdar jadi taubat habis. Bahasa kerennya, Ibrahim
mencoba berempati, bukannya menghakimi.
Eh, kita
kayaknya juga perlu begitu kalo ada kawan-kawan yang mungkin hidupnya agak-agak
nyasar. Menghadapi yang kayak gitu, sikap lemah lembut penuh empati, tetep
perlu, lho! Karena, Allah melarang kita merasa diri kita tu suci. Bahkan, ada
ulama bilang, dosa itu malah bisa bikin manfaat kalo bikin pelakunya jadi kapok
dan nggak mau balik lagi.
So, jangan
pernah merasa diri kita lebih baik dari orang lain ya…………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar