Selasa, 03 November 2009

Cerita Sahabat Muslim 13


Nasihat Ibrahim bin Adham untuk ahli maksiat
            Mungkin kamu pernah didatengi sama temen yang terkenal doyan maksiat. Tapi, tahu-tahu dia ngomong gini sama kamu:
“Gue  tahu tiu salah, tapi gimana dong, car ague berhenti?”
            Nah, kalo kebetulan kamu pumya temen lantas dia curhatnya begini, jawaban Ibrahim kayanya top banget buat kamu jadiin inspirasi. Urusan nasehatin orang, Ibrahim bin Adham tuh ngerti banget soal psikologi manusia. Contohnya aja kisah berikut ini.
            Suatu hari, seorang dowok yang kondang doyan banget maksiat, datang nemuin Ibrahim bin Adham. Cowok itu namanya Jahdar bin Rabi’ah. Mula-mula, Ibrahim sempet heran juga. Mau ngapain Jahdar nyari dia? Eh, rupanya Jahdar minta nasehat sama Ibrahim caranya supaya dia berhenti dari perbuatan maksiat. Nah, seru kan?
            “Ya Aba Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), saya ini orang yang doyan banget ngelakuin perbuatan maksiat. Tolong beri tahu saya, cara yang ampuh biar saya mau berhenti ngelakuin itu semua.”
            Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “kalo kamu mampu melaksanakan lima syarat yang aku ajukan, aku nggak keberatan kamu berbuat dosa.”
            Terang aja Jahdar bengong. Nggak salah, nih? Mau nanya gimana caranya supaya saya tobat, eh, malah dikasih peluang buat terus-terusan maksiat. Karena masih penasaran, Jahdar balik bertanya,
            “Ehm,..apa aja syarat-syaratnya, Aba Ishak?”
            “Syarat pertama, kalo kamu melaksanakan perbuatan maksiat, jangan kamu makan rezeki Allah!” ucap Ibrahim.
            “Terang aja Jahdar garuk-garuk kepala. Gitu-gitu juga, Jahdar ngerti kalo yang ngasih rejeki itukan Allah. Kemudian Jahdar bertanya dengan penuh keheranan,
            “Lho, lantas saya makan darimana? Bukankah segala sesuatu yang berada di Bumi ini adalah rezeki Allah?”
            “Makanya,” jawab Ibrahim dengan tegas , “Kalo emang kamu udah tahu begitu, apa masih pantes kamu makan rejeki dari Allah, sementara kamu terus-terusan melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintah-Nya?”
            “Waduh, iya juga sih,” jawab Jahdar malu-malu, “kemudian, apa syarat yang kedua?”
            “Kalo kamu bermaksia kepada Allah, kamu janga tinggal di bumi-Nya, “kata Ibrahim lebih tegas lagi.
            Kontan Jahdar berteriak kaget. “APA? Syarat ini lebih gila lagi! Lalu saya harus tnggal dimana?bukankah bumi ini denga segala isinya adalah milik Allah?”
            “Bener! Bener banget Jahdar temanku! Karena itu pikirkanlah baik-baik, apa kamu masih pantes memakan rejeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kamu terus berbuat maksiat?”Tanya Ibrahim.
            “Aduh, kam bener, Aba Ishak,” ucap Jahdar lesu, “lalu apa syarat yang ke tiga? “lanjutnya denga lemas dan juga penasaran.
            “Okelah! Kalo kamu masih ingin bermaksiat kepada Allah, tapi juga masih ingin makan rejeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, ya udah, cari aja tempat bersembunyi dari-Nya.”
            Jahdar yang udah mulai ngerti kea rah mana omongan Ibrahim bin Adham, menggeleng lemah. “Ya Aba Ishak, nasihat macem apa semua ini? Mana mungkin Allah nggak melihat kita?”
            “Ya, emang iya! Kalo kamu yakin Allah selalu melihat kita, tapi kamu masih ingin terus memakan rejeki dari-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, apa kamu pantes melakukan semua itu?” Tanya Ibrahim pada Jahdar yang mulai Nampak bingung dan gelisah.
            Semua ucapan Ibrahim itu, yang disampaikan dengan tetap lemah lembut, membuat Jahdar bin Rabi’ah nggak berkutik dan membenarkannya. “Baik, baik, ya Aba Ishak. Lalu katakana sekarang, apa syarat keempat?”
            “Kalo malaikat maut datang mau mencabut nyawa kamu, bilang sama dia, kalo kamu beum mau mati Karena belum bertaubat dan masih pengen melakukan amal shaleh.”
            “Whaduuh,” kelu Jahdar, “nggak mungkin, nggak mungkin semua itu aku lakukan.”
            “Jahdar kawanku! Kalo kamu nggak bisa mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau bisa menghindar dari murka Allah?”
            “Kayaknya kamu memang bikin saya nggak bisa berkutik, Aba Ishak. Jadi, apa syarat ke lima?”
            “Yan terakhir, kalo malaikat Zabaniyah mau mengiring kamu ke neraka di hari kiamat nanti, kamu jangan mau. Cobalah tolak dia mati-matian, dan jauhi dia!”
            Lama Jahdar terdiam. Wajahnya menunduk, seolah ada burung yang bertengger di kepalanya. Lalu, perlahan-lahan butir-butir bening mulai bergulir dari sudut matanya. Jahdar, cowok tulen yang doyan maksiat itu, menangis penuh penyesalan.
            “Cukup….cukup, ya Aba Ishak! Jangan kamu teruskan lagi. Saya nggak sanggup lagi mendengarnya. Saya janji, mulai sat ini saya bakal istighfar dan taubat nasuha kepada Allah.”
            Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuan itu, ia bener-bener berubah.
            Semua itu terjadi karena Ibrahim bukan ngamuk-ngamuk menyalahkan Jahdar, tapi justru denga kelembutan sikapnya, Jahdar jadi taubat habis. Bahasa kerennya, Ibrahim mencoba berempati, bukannya menghakimi.
            Eh, kita kayaknya juga perlu begitu kalo ada kawan-kawan yang mungkin hidupnya agak-agak nyasar. Menghadapi yang kayak gitu, sikap lemah lembut penuh empati, tetep perlu, lho! Karena, Allah melarang kita merasa diri kita tu suci. Bahkan, ada ulama bilang, dosa itu malah bisa bikin manfaat kalo bikin pelakunya jadi kapok dan nggak mau balik lagi.
            So, jangan pernah merasa diri kita lebih baik dari orang lain ya…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar