Rabi’ah
Dan Roti Manis
Nah, sejak
sat itu, ketekunan Rabi’ah beribadah dan ajarannya tentang cinta kepada Allah
membuat banyak orang berdatangan untuk menyimak ceramahnya dan mengambil
pelajaran darinya.
Maka, meski
ia seorang perempuan, namun banyak para ahli sufi yang notabennya umumnya cowok
itu, taksegan untuk meminta nasihat dan untuk bersilaturahmi kepadanya.
Oleh karena
itu, suatu hari, tiga orang ahli sufi bermaksud mengunjungi Rabi’ah. Mereka
bilang, “hari ini, mari kita berkunjungi ke Rabi’ah. Dia seorang yang amat baik
dan suka menghormati tamu. Sambil berbagi pengetahuan, mudah-mudahan ia tidak
keberatan untuk menjamu kita.”
Mereka pun
tiba di rumah Rabi’ah, dan mulai bercakap-cakap. Kalo pake bahasa kita
sekarang, mereka saling jajal pengetahuan juga. Salah seorang sufi itu bilang
gini,
“Sebetulnya
Allah lebih memuliakan kaum laki-laki daripada perempuan”
“Apa
buktinya?” Tanya Rabi’ah.
“Buktinya,
nggak ada nabi dari kalangan perempuan.”
“Mungkin
saja,” jawab Rabi’ah sambil mengangguk-angguk,”tapi setahu saya, yag
berani-beraninya bilang dan ngaku dirinya sebagai tuhan, bahkan dicela oleh
Al-Qur’an, adanya Cuma laki-laku, tuh!” lanjut Rabi’ah sambil mesem.
Yang ia
maksud, tentu saja Fir’aun musuh Nabi Musa dan raja Namrud musuh Nabi Ibrahim.
Tapi jawaban itu sungguh telak, sehingga ketiga sufi itu tersipu-sipu mendengarnya.
Tak lama
kemudian, pembantu Rabi’ah muncul menyuguhkan dua potong roti manis. Para tamu itu tersenyum lega. Yang ditunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Tapi, eh, belum sempat mereka cicipi, tiba-tiba terdengar
suara seorang pengemis, yang menghiba-hiba
minta diberi makan. Melihat hal itu, tanpa piker panjang, Rabi’ah lansung
memberikan kedua potong roti itu kepada si pengemis.
Melihat
kejadian itu, ketiga tamunya mencela perbuatan Rabi’ah.
“Bagaimana
mungkin kamu member semua roti itu pada seorang pengemis, sementara kami yang
menjadi tamu, kamu biarkan begitu aja?”
Rabi’ah
diam saja. Dia hanya menunduk, seolah-olah berfikir keras.
Eh, nggak
lam kemudian, pintu rumah kembali diketuk. Seorang pelayan dari tetangga
Rabi’ah, berdiri di depan pintu, membawa sebuah nampan besar. Ia berkata telah
di suruh oleh majikannya mengantarkan roti-roti manis dalam nampan itu. Para tamu Rabi’ah kembali tersenyum lega.
Tapi,
bukannya menerima dengan segera, Rabi’ah malah membuka tutup nampan dan mulai
menghitung. Ternyata, ada delapan belas potong roti manis di dalamnya. Melihat
hal itu, Rabi’ah menggeleng dan berkata, “kamu pulang deh, dan bilang sama tuan
kamu, kalo dia salah memberikan nampan itu buat saya.”
Terheran-heran,
si pelayan segera kembali. Para tamu Rabi’ah
pun tak kalah tercengang. “Apa-apaan ini, Rabi’ah? Delapan belas roti manis
masih kamu anggap kurang?”
Rabi’ah
diam saja. Tak lama, pintu diketuk, dan si pelayan tadi telah kembali. Ia
meminta maaf dan mengaku kalo di tengah jalan, ia tergoda makan dua potong roti
manis pemberian majikannya untuk Rabi’ah. Sekarang, ia kembali dan telah
melengkapi roti-roti itu lagi menjadi dua puluh potong roti manis.
“Nah, kalo
yang ini, emang benar untuk saya,” sahut Rabi’ah berseri-seri. Lalu, barulah ia
menghidangkan ke duapuluh roti itu kepada para tamunya.
Karena para
tamu Rabi’ah masih terheran-heran. Rabi’ah pun menjelaskan.
“Waktu
kalian tadi datang, saya sebenarnya merasa malu, karena nggak ada yang bisa
saya hidangkan selain dari dua potong roti manis tadi. Tapi, pengemis itu
muncul, dan saya berikan dua potong roti manis itu kepada pengemis tadi, karena
saya ingat janji Allah, kalo siapa aja yang berbuat kebajikan akan diganti
setidaknya 10 kali lipat. Maka ketika pelayan itu membawa roti manis, aku
yakin, itulah ganti yang Allah SWT janjikan untuk pemberian saya pada pengemis
tadi. Namun, jumlahnya hanya 18, dan bukan 20 seperti janji Allah. Sayapun
sadar kalo pelayan itu minimal telah keliru. Dan dugaan saya benar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar