Kemarahan
Hatim
Nah, meski Hatim
terkenal karena kelembutan budinya, sesekali waktu dia bisa marah juga lho…..ya
iyalah! Namanya juga manusia! Tapi, bedanya, kemarahan Hatim itu bener-bener karena
terpaksa, dan alasannya juga kuat, lho!
Nah, salah
seorang murid Hatim, Sa’ad ibnu Muhammad ar-Radhi meriwayatkan, kalo selama
bertahun-tahun dia menjadi murid Hatim, selama waktu itu hanya sekali dia
melihat Hatim marah besar!
Ceritanya
gini, waktu itu, Hatim pergi ke pasar. Di sana ,
ia melihat seorang lelaki pedagang makanan lagi marah-marah, sambil mencengkram
kerah leher seseorang, yang ternyata adalah salah seorang muridnya. Udah gitu,
dia pake teriak-teriak,” ini anak sering banget ngambil makanan daganganku dan
ia nggak bayar sepeserpun!”
“Wahai
tuan, berbaik hatilah,” kata Hati lemah lembut sambil berusaha menengahi.
Sebetulnya dia malu juga, tapi dia tahu persis, murid-muridnya emang banyak
yang miskin, sehingga emang banyak yang minta makan pada orang lain.
Saya nggak
mau berbaik hati. Saya ingin uang saya,” teriak lelaki itu lebih keras lagi.
Semua
perkataan Hatim untuk membujuk lelaki si pedagang itu nggak membawa hasil.
Lama-lama, Hati kesel juga. Ini orang kok gak tahu diri bener, sih? Hatim pun
marah. Seketika itu juga ia melepaskan jubahnya dan melemparkannya ke tanah
ditengah-tengah pasar itu. Seketika, jubah itu penuh dengan koin-koin emas.
“silakan,
ambillah yang menjadi hak kamu, jangan lebih! Kalo nggak, tangan kamu bakal
lemah lunglai!” Kata Hatim dengan keras.
Si pedangan
itu buru-buru memunguti koin-koin emas itu sampai sejumlah haknya. Tapi, nah,
ini dia, keluar sifat dasar manusianya: rakus! Si pedagang itu masih juga
ngambil yang bukan haknya! Seketika itu juga, tangannya menjadi lemah lunglai
nggak berdaya.
Sahl
dan Amir yang Betobat
Sahl ibn ‘Abd Allah ibn
Yunus, Abu Muhammad al Tustari (wafat pada 283 H), biasa dipanggil Sahl At
Tutari, adalah seorang sufi yang dijuluki Shaykh al- ‘arifin, dan Shuufi al
Zahid.
Sejak
kecil, umur 3 tahunan, ia sering terbangun di tengah malam, melihat pamannya,
Muhammad ibn al-Sawwar, melakukan shalat malam. Diceritakan ia telah menghafal
al Qur’an dalam usia 7 tahun, dan hidup sejaman dengan Imam Abu Dawud, seorang
imam hadits yang kondang. Ia besar dibawah bimbingan seorang sufi uang juga
kondang, Dhu al-Nun al-Misri.
Nah,
seperti juga orang-orang saleh pada jamannya, Sahl terkenal maqbul do’anya.
Suatu hari, seorang amir (penguasa) jatuh sakit, sebegitu parahnya,
sampai-sampai seluruh tabib angkat tangan. Dalam keadaan lemah, ia bertanya,
“Apa nggak
ada, seorang yang bisa berdo’a bagi kesembuhan saya?”
Orang-orang
pada berbisik. Akhirnya, ada yang menjawab,
“Sahl aja
kayaknya. Kata orang-orang, do’a-do’anya selalu terkabul.”
Akhirnya
dikirimlah utusan, dan Sahl diminta untuk menolong. Dasar Sahl orang saleh, ia
pun menyanggupi. Dia dateng dan saat menemui sang Amir, Sahl bilang,
“do’a Cuma
bakal efektif bagi orang yang bener-bener menyesali kesalahannya. Dalam penjara
bapak, ada banyak orang-orang yang seharusnya nggak bersalah tapi malah
ditahan. Bebaskan mereka.”
Wah, jaman
itu emang jamannya orang enteng aja dijeblosin ke penjara padahal nggak salah
apa-apa! Sang Amir pun sadar. Jadi, buru-buru ia perintahkan melepaskan mereka
semua, dan ia bertobat habis-habisan. Nah, barulah setelah dia selesai
melakukan hal itu, Sahl berdo’a,
“Ya Allah,
sebagaimana Engkau telah menunjukkan kehinaan padanya karena ketidaktahuannya,
kini tunjukkanlah kemuliaan padanya karena ketaatannya. Sebagaimana Engkau
telah menyelubungi batinnya dengan pakaian tobat, kini selubungilah lahirnya
dengan pakaian sehat.”
Subhanallah,
seketika itu juga, baru aja Sahl selesai berdo’a, sang Amir langsung sehat
kembali. Waduh, terang aja dia girang bukan kepalang. Buru-buru dia masuk ke
dalam, dan keluar dengan setumpuk uang. Eh, Sahl malah menolaknya dan ia
langsung pergi meninggalkan istana sang Amir tersebut.
Rupanya,
diantara murid-murid yang ikut Sahl, ada yang merasa sayang juga ngelihat uang
sebanyak itu koq dianggurin begitu aja. Salah seorang muridnya lantas bilang,
“Guru,
andai saja anda menerima pemberiannya, kita tentu dapat membayar utang-utang
kita. Bukankah itu lebih baik?”
Sahl
tersenyum, lalu menjawab, “apakah kamu butuh emas?lihatlah!”
Wah, murid
Sahl itu melihat dan melongok! Seluruh tanah disekitar tempat itu penuh dengan
emas dan batu mirah.
Sahl
berkata, “mengapa seseorang yang menikmati kemurahan hati Allah harus menerima
sesuatu dari makhluk-Nya?”
Sampai di
sini nggak diceritakan, apakah emas-emas itu akhirnya diambil sama anak buah
Sahl atau nggak. Mestinya sih iya, ya? Tapi itu bukan urusan kita. Dan
sepertinya, Sahl lagi mengajarkan, kalo yang namanya keikhlasan karena Allah
akan diganti dengan yang lebih baik.
Buat
kita-kita para professional, jangan cemas dulu. Ini bukan berarti kita nggak
boleh terima honor, misalnya. Tapi, ada kalanya kehadiran kita perlu untuk
diikhlaskan demi menolong orang yang memang bener-bener membutuhkan, bener-bener
dengan mengharap ridha Allah.
Kalo udah
gitu, yakin deh, Allah pasti mengganti. Ya, kayak Sahl.
Shalat
Tustari & Tetangga Majusinya
Kisah di
bawah ini agak simpang siur. Ada
yang mengatakan kalo yang mengalami hal ini adalah Hasan Al Bashri, tapi ada
yang bilang, ini kejadian pada Sahl at Tustari. Nah, saya ambil yang riwayatnya
tentang Sahl aja, deh.
Konon, si
Sahl ini mempunyai tetangga Majusi dzimmi. Maksudnya tetangga disini bukan
sebelah menyebelah, tapi Sahl tinggal dilantai bawah, tetangga majusi itu di
atas.
Nah,
tetangganya itu punya WC yang bocor dari sebuah lubang, dan alamak, sebagian
airnya mengalir ke salah satu bagian rumah Sahl. Pembantu Sahl sempet mau
protes, tapi Sahl justru melarangnya. Malah, setiap hari Sahl meletakkan sebuah
bejana tepat di bawah mengalirnya air itu untuk menampungnya. Diam-diam, Sahl
lalu membuangnya di malam hari biar nggak ketahuan orang lain. Begitulah terus
menerus sampai waktu yang cukup lama.
Sampai
akhirnya, menjelang wafat Sahl minta dipanggilkan tetangganya yang majusi itu.
Ia berkata, “kamu masuk deh, dan lihat!”
Si tetangga
itu masuk dan melihat sebuah lobang dan ia bercampur kotoran jatuh dalam
bejana. Ia kaget setengah ampun, karena baru sadar betapa air itu dengan aroma
nen menawan itu, datang dari kamarnya. Dengan perasaan campur aduk ia bertanya,
“apakah
yang saya lihat ini? Mengapa anda diam saja?”
“ah, ini
sudah berlangsung lama,” jawab Sahl, “ saya mewadahinya di siang hari dan
membuangnya di malam hari. Jika bukan karena ajal saya sudah dekat, dan saya
khawatir kepada akhlak selainku, niscaya saya nggak bakal ngomong sama kamu
soal ini. Sekarang terserah kamu….”
Wah, udah
dirugikan sekian lama Sahl malah ngomong gitu. Coba, siapa yang nggak kagum?
Terang aja, sang tetangga majusinya itu merasa takjub. Soalnya, dalam versi
yang lain, konon Sahl juga mengatakan, kalo dia nggak mau ngomong dan
menegurnya, karena khawatir melukai hati dia sebagai tetangganya, padahal
ajaran islam concern bener sama ngejaga hak-hak tetangga.
Akhirnya,
saking kagumnya, dia bilang,
“wahai
Syaikh, anda telah bergaul dengan saya begitu mulia, dan seperti ini terjadi
sejak lama dan saya tetap berada di dalam kekufuranku. Ulurkan tangan anda,
saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa
Muhammad itu utusan Allah.”
Usai mendengar
itu, Sahl pun wafat.
Satu bukti
lagi, kalo kemuliaan akhlak bisa mengalahkan banyak hal. Setuju, kan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar