Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada leduanya “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
(QS.
Al-Isra’ :23-24)
FENOMENA
MENYURUTNYA PERANAN ORANG TUA
Allah SWT berfirman :
“Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika seseorang diantara keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya “ah”
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka ucapan yang
mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah, “wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al Isra’: 23-24)
Seorang
muslim yang di karuniai kecerdasan, meskipun sedikit, akan terkesima saat
menyadari bahwa Allah SWT tidak mempertalikan amal ibadah lain dalam islam,
seperti ketika Dia mempertalikan kepatuhan kepada kedua orang tua dengan
ketaatan kepada Allah. Dalam pertalian tersebut, terdapat isyarat yang samar,
bahwa seorang yang beriman, yang berbakti kepada orang tua, sesuai dengan
kedudukan orang tua yang menjadi penyebab keberadaan dirinya dalam kehidupan
ini, selayaknya lebih berbakti dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Karena
pada hakikatnya, Allah SWT yang menghadirkan dirinya dan kedua orang tuanya
dalam kehidupan ini.
Betapa kita
amat membutuhkan sesuatu yang mampu membangkitkan nurani ini dari keterlelapan,
sehingga kita sadar terhadap hak-hak orang tua yang harus di hormati dan
dijunjung tinggi dengan sungguh-sungguh.
Banyak para
cerdik-pandai yang telah mengangkat tema ini, baik dalam ceramah, tulisan, film
atau dalam bentuk syair. Pada awalnya, saya merasa tidak perlu lagi membahas
tema serupa, karena sudah banyak penulis yang mengulas persoalan ini. Namun,
saya akan mencoba mendekati permasalahan ini dari sudut pandang yang berbeda,
yaitu dari aspek “menyurutnya peranan orang tua”
KITA
DAN ORANG TUA
Ayah dan
ibu adalah asal usul adanya umat manusia. Keduanya memberikan yang terbaik
kepada anak. Ayah member nafkah, sedangkan ibu melahirkan dan mencurahkan kasih
sayang. Allah SWT telah menciptakan dan mewujudkan manusia, kemudian orang
tualah yang melahirkan dan mendidiknya.
Abdullah
bin Abbas ra, sahabat besar yang berjuluk Tarjuman
al Qur’an (penerjemah Al Qur’an), mengatakan, “ada tiga ayat yang selalu
dipadukan dengan tiga ayat yang lainnya dan masing-masing selalu disebutkan
bersama dengan ayat pasangannya.
1.Firman
Allah SWT,
Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…
(at-Taghabun
[64]:
12
Siapa yang taat kepada Allah
tetapi tidak taat kepada Rasul, maka taatnya tidak akan diterima.
2.Firman
Allah SWT,
Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat…..(QS. Al-Baqarah[2]: 43)]
Siapa yang hanya melaksanakan
shalat tanpa menunaikan kewajiban zakat, niscaya ibadah shalatnya tidak akan
diterima.
3.Firman
Allah SWT,
….Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua ibu bapakmu…..(QS. Luqman [31]:
14)
Siapa yang bersyukur kepada
Allah namun tidak bersyukur kepada orang tua, maka syukurnya tidak akan
diterima.
Oleh sebab itu, al Qur’an
acapkali mengulang wasiatnya, berupa kewajiban setiap insane untuk berbakti dan
berbuat baik kepada orang tua. Selain itu, al Qur’an memperingatkan agar jangan
sampai seseorang berbuat durhaka atau berprilaku buruk pada keduanya, dengan
cara apapun. Allah SWT berfirman,
Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu
bapakmu…. (an-Nisa [4]: 36)
Dan kami mewajibkan mannusia
(berbuat) kebaikan kepada kedua ibu bapaknya….(al-Ankabut [29]: 8)
Ayat-ayat di atas menjelaskan
penghargaan dan keutamaan orangtua dibandingkan dengan anak-anak mereka,
terutama ibu. Ibulah yang merasakan penderitaan, rasa lelah, berat, menahan
segala beban. Hal ini dialami oleh setiap wanita hamil. Ketika proses
melahirkan, sang ibu berada dalam keadaan antara hidup dan mati, yang deritanya
hanya bisa dirasakan oleh kaum wanita.
Dalam sunnah Rasulullah
terdapat keterangan yang menegaskan kewajiban dan perintah berbakti kepada
kedua orangtua serta larangan berbuat durhaka kepada keduanya.
Abdullah bin Amru bin al Ash
menuturkan, “ seseorang datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “aku
datang, berjanji setia kepadamu untuk melakukan hijrah (pndah ke madinah),
tetapi ayah dan ibuku menangisi kepergianku. Rasulullah bersabda, “ kembalilah
kepada mereka, buatlah mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka
menagis.” (HR. para ahli hadits selain at-Tirmidzi)
Dalam al-Musnad, Imam Ahmad dan
Ibnu Majah meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Jahimah as Sulami, ia mengatakan
bahwa ia meminta izin agar diperkenankan untuk ikut serta dalam berjihad
bersama Rasulullah. Akan tetapi rasulullah memerintahkan dia untuk kembali
mendampingi ibunya. Lantaran Mu’awiyah bersikeras ikut jihad, rasulullah
bersabda kepadanya, “Rugilah kau, jangan engkau tinggalkan kedua kaki ibumu. Di
sanalah surga berada.”
Dari cerita di atas dapatlah
kita simpulkan, bahwa betapa kita harus menghormati orang tua, menyayangi dan
selalu menjaganya dikala dia membutuhkan kita. Rasulullah sendiri melarang
sahabatnya untuk berhijrah untuk berjihad kepada beliau, padahal sahabat
memiliki perbuatan yang baik untuk membantu beliau, tapi karena orangtua dari
para sahabatnya tidak meridhoi para sahabat, maka rasulullah melarang mereka
untuk membantu beliau.
Kita lihat keadaan sekarang,
dimana anak-anak tega melawan, menghardik orangtua mereka sendiri sehingga
kedua orangtua mereka takut dengan anak-anaknya, Masya Allah.
Apalagi bila anak-anaknya
menginjak remaja, yang mana sekarang para remaja bisa menentukan jalan hidup
mereka, sesuka hati mereka tanpa adanya keridhoan dari orangtua mereka yang
mengakibatkan para remaja sekarang terjerumus dalam dunia kegelapan, memakai
narkoba, terlibat sex bebas dan lain sebagainya. Kita lihat di sekeliling kita,
anak-anak masih terbilang SD sudah mengenal apa itu rokok, hingga merekapun
telah bertindak seperti halnya orang dewasa.
Wahai, sahabat-sahabatku yang
telah lupa akan dirinya sendiri, kembalilah kerumahmu, peluklah ibumu,
sayangilah mereka, sayangilah keluargamu, sayangilah dirimu, ingatlah akan
dirimu, dimana ibumu telah membesarkanmu dari kamu belum bisa melihat dunia,
belum bisa menelan makanan, belum bisa berjalan, belum bisa mengenakan pakaian,
hingga kamu dewasa seperti ini kedua orangtuamu selalu sabar dalam menjagamu,
ingatlah itu. Tapi mengapa setelah kamu dewasa, kamu tega meninggalkan ibumu,
melawan orangtuamu.
Kembalilah kepelukan ibumu…………..kembalilah
kepada keluargamu…..
Ingatlah kisah dimana seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, siapakah orang yang
paling berhak kuperlakukan dengan baik? Rasulullah benjawab, “IBUMU”
Sahabat bertanya lagi, dan Rasulullah pun menjawab, “ibumu”, kemudian siapa ya rasulullah?
Rasulullah menjawab lagi, “IBUMU”,
sahabatpun bertanya lagi, lalu siapa? Rasulullah mengatakan, “Ayahmu”. Hadits
ini mengandung pengetian bahwa kebaikan ibu, tiga kali lipat lebih besar
dibandingkan dengan kebaikan seorang ayah. Lantaran penderitaan besar yang
dialami oleh seorang ibu saat mengandung. Inilah keistimewaan yang hanya dimiliki oleh seorang ibu. Kemudian bersama
seorang ayah, ibu mendidik dan membesarkan anaknya.
Jika A
bekerja selama 8 jam, dan B ingin mengalahkan prestasi A, maka Bharus
bersungguh-sungguh dalam bekerja, bahkan lebih dari itu dia harus dapat berkorban waktu dimana jika A
bekerja selama 8 jam, maka dia harus bekerja lebih lama 1 atau 2 jam, sehingga
prestasi kerja B akan lebih unggul daripada prestasi si A. ini merupakan
sunnatullah dalam setiap kemenangan.
Kunci
kemenangan adalah bekerja dengan kesungguhan, dan berani berkorban. Dengan
kesungguhan dan kesediaan diri berkorban itulah seseorang dapat mengalahkan
musuh, lawan, godaan dan tantangan, sehingga dapat mencapai prestasi khalifah
di muka bumi. Inilah sebenarnya pesan dan maksud yang tersirat dari ayat :
“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu al kautsar,
maka dirikanlah shalat kepada tuhanmu, dan berkorbanlah. Sesungguhnya dengan
hal demikian, musuhmu akan hancur binasa.” (QS. Alkautsar: 1-3)
Dalam
kitab-kitab tafsir menyatakan bahwa, makna alkautsar ada 2 arti, pertama
bermakna telaga kautsar di akhirat kelak. Kedua, alkautsar juga bermakna nikmat
dan kebaikan yang banyak yang didapat oleh seseorang di dalam hidupnya di dunia
ini, baik itu nikmat harta, nikmat kesehatan, nikmat ilmu, nikmat kekuasaan dan
lain-lain. Nikmat tersebut merupakan modal bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Siapa saja yang dapat memakai dan mempergunakan nikmat kesehatan,
nikmat waktu, nikmat tenaga, nikmat harta, nikmat ilmu, nikmat kekuasaan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan perintah Allah dia akan mendapat kejayaan di dunia
dan juga mendapatkan minum dari sungai alkautsar di akhirat nanti.
Mempergunakan
nikmat denga cara yang baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan diri dan
manusia merupakan sikap mensyukuri nikmat. Tetapi jika nikmat disia-siakan,
waktu dibuang-buang percuma, harta dihambur-hamburkan untuk hiburan, kekuasaan
hanya untuk mencari popularitas dan kekayaan, maka seseorang itu itdak
bersyukur kepada nikmat. Untuk itulah ayat selanjutnya memerintahkan manusia
untuk memakai nikmat dengan cara yang baik, efektif, bermanfaat dunia dan
akhirat. Perintah tersebut dinyatakan dalam ayat “shalli li rabbika”, maka
dirikanlah shalat kepada tuhanmu.
Cara
bersyukur nikmat adalah dengan mendirikan shalat ritual kepada Tuhan yang telah
memberikan nikmat, dilanjutkan dengan “shalat social” dengan cara mempergunakan
harta kekayaan untuk keperluan hidup diri dan menolong manusia yang lain,
mempergunakan tenaga dan badan untuk bersikap mulia, mempergunakan waktu dengan
positif, mempergunakan kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat, dan lain
sebagainya.
Dengan
pemakaian nikmat sesuai dengan perintah Allah, dan menghindarkan diri dari
segala yang tidak berguna, barulah seseorang itu menjadi manusia yang
berkualitas, dan menjadi umat yang berprestasi. Sebagai contoh, umat islam
zaman dahulu jika memiliki kekayaan maka mereka mempergunakan kekayaan itu
untuk membangun sekolah, universitas, perpustakaan, rumah sakit, dan segala
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Itulah yang terjadi pada zaman
kegemilangan Baghdad, Andalusia,
Turki, Usmaniyah, dan lain sebagainya.
Tetapi jika
kekayaan itu hanya dipakai untuk mencari kesengan hidup, untuk bermewah-mewah
maka umat tersebut tidak mempunyai kualitas dan prestasi.
Lihat pada
hari ini, sebagian umat islam memiliki kekayaan berlimpah-limpah tetapi
kekayaan itu bukan dipakai untuk mendirikan sekolah, dan universitas yang
bermutu, bukan untuk riset dan teknologi, bukan untuk membangun pusat peradaban
bagi masyarakat; tetapi hanya dipergunakan untuk membangun dan mendirikan
hotel-hotel mewah seperti al Buruj, atau dipakai untuk bersenang-senang seperti
membuat bunga api yang melebihi olimpiade Beijing, dan lain sebagainya, maka
akibatnya kekayaan umat islam yang begitu hebat tidak ada manfaatnya bagi
kemajuan umat.
Pada waktu
yang sama, orang kafir, Negara bukan islam memiliki universitas yang sangat
bermutu, pusat riset sehingga dapat mengeluarkan teknologi yang canggih,
menguasai pusat media, informasi, persenjataan berkualitas, padahal kekayaan
mereka kalah dibandingkan kekayaan Negara-negara petrodollar..dengan demikian
kita dapat dikatakan mengapa umat islam kalah, sebab mereka baru melakukan
shalat ritual, tetapi melakukan shalat social dalam mempergunakan nikmat yang
Allah berikan kepada mereka.
Syarat
kedua dalam mencapai kemenangan adalah pengorbanan. Inilah maksud ayat al
Qur’an “Wanhar”, dan berkorbanlah. Berkorban di sini bukan hanya berkorban
menyembelih kambing, tetapi jika umat islam ingin mengalahkan musuh, ingin
mencapai kemenangan maka ada kewajiban untuk mengorbankan harta kekayaan, ilmu
pengetahuan, kekuasaan, waktu dakn kesehatan.semuanya harus dipergunakan untuk
mencapai kejayaan umat secara bersama, bukan untuk kepentingan diri sendiri,
bukan untuk kelompok dan partai, bukan untuk kesenangan diri sendiri, tetapi
untuk kemaslahatan umat islam secara berjamaah, semuanya.
Jika orang
kaya telah mengorbankan hartanya untuk kepentingan pendidikan, ekonomi,
teknologi umat, jika penguasa mengorbankan kekuasaannya untuk menegakkan hokum
yang menguntungkan umat, jika professor dan ilmuan mempergunakan ilmunya untuk
membangun teknologi dan inovasi umat, dan jika orang awam mempergunakan
waktunya untuk menolong umat, barulah umat islam dapat mengalahkan musuh dan
orang kafir. Itulah makanya ayat tersebut dilanjutkan dengan ayat “Inna
syani’aka huwal abtar”, sesungguhnya musuh-musuh engkau akan hancur. Inilah
syarat dan sunnatullah dalam mencapai kemenangan.
Dari
keterangna di atas marilah kita teliti mengapa umat islam belum menang, belum
dapat mengalahkan musuh…? Sebab umat islam belum melakukan pengorbanan untuk
perjuangan dan kemajuan umat. Umat islam belum berkorban waktu dengan cara
mempergunakan waktu kepada hal yang positif lebih daripada pemakaian waktu
orang kafir. Umat islam belum berkorban ilmu, melakukan riset dan pengkajian
lebih daripada yang dilakukan oleh orang kafir. Umat islam belum mengorbankan
kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan umat islam yang lain. Malahan kekayaan
umat islam dikeruk habis orang kafir untuk keuntunga mereka.
Perpustakaan
kongres Amerika yang sangat terkenal itu hanya dibiayai oleh seorang
konglomerat yang merupakan donator tetap. Starbuck Coffe yang terbesar di
seluruh dunia mempergunakan sebagian besar keuntungan untuk sumbangan kapada
Negara Israel.
Pada waktu yang sama umat islam hanya disibukkan dengan berkorban kambing atau
sapi yang berharga ratusan ribu setiap tahun. Sedangkan dana untuk kepentingan
umat, membangun ekonomi umat, membangun madrasa, universitas, perpustakaan,
pusat riset dan teknologi, beasiswa bagi pelajar dan mahasisiwa cemerlang tidak
mendapat perhatian dari umat islam.
Mana
pengorbanan kita untuk membantu kemiskinan umat..? mana pengorbanan kita untuk
membantu mereka yang putus sekolah..? mana pengorbanan kita untuk pelajar
muslim dan mahasiswa muslim yang cemerlang tetapi tidak mempunyai biaya untuk
pendidikan..? mana pengorbanan kita untuk mendirikan pusat pelayanan kesehatan
dengan membangun rumah sakit gratis, sekolah gratis, seperti yang dilakukan
oleh orang kafir. Padahal Allah telah memberikan pedoman kepada kita bahwa
kemenangan hanya dapat dicapai jika umat islam melakukan pengorbanan yang lebih
besar daripada orang lain.
Semoga Idul
Adha kali ini bukan hanya sekedar melakukan shalat Ied dan menyembelih hewan
qurban, tetapi memberikan kesadaran kepada kita untuk melakukan suatu
pengorbanan dalam membangun kejayaan umat dimasa depan..inilah pelajaran dan
maksud Hari Raya Idul Adha, Hari Raya Qurban. Seakan-akan Allah berkata kepada
kita semua :
“Wahai
hamba-Ku…wahai umat Muhammad, wahai manusia, dalam tahun ini, Aku telah
memberikan kepadamu nikmat kekayaan, nikmat kesehatan, nikmat kekuasaan, nikmat
ilmu yang banyak…….wahai hambaKu, sudahkah engkau mempergunakan nikmat tersebut
denga baik, sebagai sarana ibadah kepada Ku….,sudahkah engkau mempergunakan
nikmat tersebut sebagai sarana pengorbanan demi kejayaan dan perjuangan umat
melawan musuh-musuh kekafiran…? Jika engkau belum melakukannya, bagaimanakah
engkau bisa menang untuk mengalahkan musuh-musuh Allah!
Lihat tuh
Allah bertanya kepada kita semua termasuk aku…..apa yang harus kita jawab
coba…..Astagfirullah……padahal Allah telah berfirman lakukanlah shalat dan
berkorbanlah….tapi lihat sekarang, apa yang telah kita, aku lakukan. Mugkinkah
umat islam akan terpuruk nantinya….Ya Allah kami berlindung kepada Mu…dari
segala kebodohan umatMu…………….!
Pelajaran Dari Mina
“Allah tidak menerima daging dan darah hewan Qurban, tetapi
Allah hanya menerima ketakwaan kamu”
Mina
berasal dari akar kata “Muna” yang
bermakna harapan. Mina adalah tempat bagi jamaah haji untuk meontar jumrah.
Mina adalah gambaran bahwa umat Islam dalam mencapai harapan dan kemenangan
harus melakukan perjuangan melawan segala bentuk kebatilan. Perjuangan tersebut
dilambangkan dengan melontar batu pada tiga jumrah, Jumrah Ula, Jumrah Wustha
dan Jumrah Aqabah.
Melontar
jumrah ini bermakna bahwa dalam menghadapi kehidupan, manusia akan mendapat
godaan baik itu godaan syaitan maupun godaan hawa nafsu. Jika manusia ingin
berhasil, maka dia harus dapat melawan godaan tersebut sebagaimana dia
melontarkan batu masuk ke dalam lubang-lubang jumrah. Godaan itu akan datang
dalam berbagai bentuk. Ada
godaan yang besar, ada godaan yang sedang, dan ada godaan yang kecil, sama
halnya ada tiga tempat melontar, Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha.
Godaan
syaitan dan godaan nafsu itu akan datang berulang kali, seperti halnya orang
melakukan ibadah haji harus melontar jumrah berulang kali, yaitu pada hari ke
9, 10, 11 Dzulhijjah bagi yang melakukan nafar awal dan ditambah satu hari lagi
bagi yang melakukan nafar Tsani.
Godaan
syaitan dan dunia akan datang dalam kehidupan kita berulang kali, maka kita
juga harus dapat melontar godaan syaitan, melontar musush-musuh islam, melontar
nafsu keduniaan itu berulang kali sehingga hidup yang penuh perjuangan untuk
melakukan perintah tuhan dapat lulus dari segala godaan dan tantangan.
Tantangan
musuh-musuh kafir, godaan syaitan dan dunia serta nafsu tersebut hanya dapat
dilawan dengan kekuatan iman. Itulah sebabnya dalam melontar jumrah kita
ucapkan “Bissmillahi Allahu Akbar”.
Jamaah haji sewaktu melontar batu kepada jumrah hendaklah melontar dengan penuh
keimanan bukan dengan emosi dan nafsu. Sewaktu melontar jumrah, kita tidak
melontar tiang dengan emosi, tetapi melontar untuk memasukkan batu ke dalam lubang.
Ini bermakna untuk mencapai keberhasilan, manusia harus dapat membuang nafsu
dan syaitan dari dalam dirinya, karena selama nafsu dan syaitan masih berada
dalam badan, manusia tidak akan dapat melakukan ibadah dengan baik, juga tidak
akan dapat melakukan kerja dengan baik, apalagi untuk membantu orang lain
dengan penuh kasih sayang.
Sewaktu
melontar jumrah, sebenarnya kita sedang melontar dan membuang nafsu dari dalam
diri kita masing-masing, membuang rasa ego di dalam dada, dan melontar syaitan
yang datang menggoda di dalam hati kita.
Dengan
melontar batu ke dalam lubang jumrah juga memberikan pelajaran bagi umat islam
bahwa dalam menghadapi musuh-musuh islam, menghadapi orang kafir yang selalu
mengganggu umat islam, maka umat islam perlu mempunyai senjata iman dan senjata
teknologi (dilambangkan dengan batu), dan umat islam diharapkan dapat memakai
senjata tersebut dengan baik, sahingga dapat memberikan ketakutan ppada musuh,
sebagaimana pesan dalam ayat Al Qur’an:
“Dan persiapkanlah segala sesuatu yang kamu
mampu untuk menghadapi mereka (orang kafir) dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) dapat menggentarkan musuh-musuh
Allah, musuh-musuhmu, dan orang yang tidak kamu ketahui” (QS. Al Anfal:60)
perjuangan menghadapi
musuh tersebut harus dilakukan dengan segala potensi. Untuk hari ini kita
memerlukan batu-batu teknologi, batu-batu ekonomi, batu-batu media, batu-batu
intelektual, batu pemikiran dan batu-batu budaya. Seperti halnya dalam melontar
jumrah, umat islam diperbolehkan melontar dari atas. Dalam lontaran tersebut
yang penting masuk ke dalam lubang, jangan sampai batu keluar atau mengenai
jemaah haji yang lain.
Demikian
juga umat islam dalam melakukan perjuangan dan perlawanan kepada musuh yang
satu, dan harap dijaga jangan sampai lontaran terkena kepada sesama umat islam
atau kelompok umat islam yang lain.
Mari
berbagi tugas dalam menghadapi serangan musuh, bukan saling merasa lebih dari
kelompok yang lain. Perjuangan melawan musuh harus dilakukan bertahap
sebagaimana dalam melontar jumrah. Ada
jumrah Ula, ada jumrah wustha dan ada jumrah Aqabah. Berarti dalam melawan
musuh umat islam harus mengenal kekuatan dan strategi musuh, ada yang bersifat
ringan, ada musuh yang sedang dan ada musuh yang besar.
Demikian
juga dalam menghadapi godaan syaitan dan hawa nafsu, ada godaan kecil, sedang
ataupun godaan besar. Perjuangan dan perlawanan terhadap musuh dan syaitan itu
tidak boleh berhenti, sebab mereka akan menyerang dan menghancurkan umat islam
dengan berbagai cara dan dalam program yang berkesinambungan.
Dalam
melontar jumrah, umat islam perlu dilakukan beberapa kali, dalam beberapa hari.
Pertama kali hadapi musuh yang terbesar secara serentak, sebab itu sebaik
dating ke Mina jamaah haji melontar jumrah Aqabah, tanpa Ula dan Wustha. Tetapi
hari selanjutnya melakukan jumrah Ula, Wustha dan Aqabah, sebab perjuangan dan
perlawanan diperlukan tahapan dan berkesinambungan.
Demikian
juga dalam perjuangan dan perlawanan tersebut diperlukan program-program yang
saling terkait dengan pembagian kerja yang rapi, sebagaimana dalam melontar
jumrah di Mina ada sebagian jamaah yang melakukan nafar awwal (melontar hanya
pada 10, 11, dan 12 Dzulhijjah), dan sebagian lain pada nafar Sani (menambah 1
hari 13 Dzulhijjah). Ini bermakna umat islam dalam perjuangan memerlukan
pembagian kerja dan program yang terencana, dimana ada program jangka pendek
(nafar awal), dan program jangka panjang (nafar sani).
Jika
seandainya umat islam melakukan perjuangan dan perlawanan seperti manajemen
lontar jumrah, insya Allah harapan umat untuk mencapai kemenangan (Muna) akan
tercapai.
Setelah
melontar jumrah, jamaah haji disunatkan untuk menyembelih qurban. Ini merupakan
pendidikan bahwa dalam menghadapi hidup di dunia dan mendapatkan kebahagiaan
hidup di akhirat kelak, manusia harus siap untuk melakukan pengorbanan.
Tiada
kemenangan tanpa perjuangan, dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Tiada
kejayaan tanpa pengorbanan. Pengorbanan diperlukan dalam setiap perjuangan
kehidupan, baik pengorbanan waktu, harta, pemikiran, dan jiwa. Inilah kunci
kejayaan seorang manusia dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Pengorbanan
individu untuk perjuangan umat (bikan perjuangan kelompok) merupaka kunci
kemenangan untuk mengalahkan musuh, sepert tersirat dalam ayat:
“Sesungguhnya
kami telah memberikan nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat, dan
berkorbanlah, sesungguhnya musuh kamu akan hancur”.
Dari ayat di atas, ada
sebuah pesan yang sangant penting bahwa kekuatan musuh akan hancur juka umat
islam telah berani berkorban apa saja yang dimilikinya untuk perjuangan melawan
kebatilan. Menyembelih kurban hanya merupakan latihan untuk selalu mengorbankan
apa saja yang dia miliki setelah pulang dari menunaikan ibadah haji.
Umat islam
memerlukan pengorbanan dari setiap individu dengan kapasitas dan profesi
masing-masing. Perjuangan dan pengorbanan dalam bidang pendidikan, bidang
ekonomi, budaya, media, pemikiran, politik, bidang ilmu dan teknologi,
merupakan syarat untuk mencapai kemenangan di masa depan.
Setiap
individu, setiap kelompok, setiap partai, setiap ormas, setiap lembaga, harus
melakukan “ amal jama’i” dan jaringan kerja sama untuk menghadapi segala
rancangan dan strategi musuh dengan penuh perjuangan yang terancang dan
pengorbanan sebagaimana yang disampaikan oleh ritual melontar jumrah di Mina.
Semoga
pelajaran Mina dapat memberikan kesadaran kepada setiap individu dan kelompok
dalam memberikan sumbangan kepada perjuangan islam di masa mendatang.
Khutbah
Arafah
Haji
itu adalah arafah
Pada tanggal
25 Dzulqaedah tahun ke 10 Hijriah, Rasulullah keluar dari Madinah untuk
mengerjakan haji ke kota
Mekkah. Inilah ibadah haji yang pertama dan yang terakhir dilaksanakan oleh
Rasulullah. Hikmah dari padanya, mengapa hanya sekali saja Rasulullah melakukan
ibadah haji dalam hidupnya, sebagai makna bahwa ibadah haji hanya sekali saja
diwajibkan dalam seumur hidup, dan haji selanjutnya merupakan ibadah sunat.
Ada perbedaan pendapat
dikalangan perawi hadits tentang cara Nabi Muhammad SAW melakukan haji. Ahli Madinah
berpendapat bahwa Nabi melakukan ibadah haji ifrad (umrah dan haji dilakukan
secara bersamaan), sedangkan perawi yang lain menyatakan bahwa Nabi melakukan
haji Qiran (haji dahulu lalu umrah), sedangkan yang lain berpendapat Nabi
melakukan haji tamattu (umrah dahulu lalu haji).
Perbedaan
riwayat ini, untuk memberikan pelajaran bagi kita bahwa cara haji yang manapun
dilakukan, nilainya adalah sama, tergantung pada niat, dan penghayatan
pelaksanaan ibadah haji. Yang paling utama bagaimana dapat menghayati ibadah
tersebut, sehingga setelah haji dapat menjadi haji yang mabrur, dalam arti
manusia yang selalu berbuat baik untuk dirinya dan orang lain, sebagai wujud
penghambaan kepoada Allah.
Haji adalah
Arafah.
Maksud wukuf adalah berhenti sejenak untuk merenunggi diri,
bertafakkur dan bermuhasabah, baik itu terhadap persoalan diri sendiri, ataupun
persoalan umat islam seluruhnya.
Wukuf adalah bertafakkur memikirkan program untuk diri
sendiri dan umat manusia yang lain. Program ini dapat dilakukan setelah seseorang
dapat menilai kehidupan yang dilaluinya, mengenal dirinya, mengenal persoalan
hidup yang dihadapinya, mengenal segala problematika umat secara menyeluruh,
kemudian melihat dimana kelemahan dan kekuatan individual dan umat islam
seluruhnya.
Kelemahan,
kesalahan, dan kekurangan baik itu secara individual dan jamaah harus diakui
dan diminta pengampunan dengan istighfar dan taubat, sedangkan harapan-harapan
harus dilakukan dengan do’a dan munajat. Inilah makna wukuf di Arafah.
Dapat
dikatakan bahwa wukuf di Arafah adalah perkumpulan umat islam seluruh dunia
untuk mengevaluasi diri dan umat islam secara menyeluruh, menudian merencanakan
program-program umat islam secara menyeluruh dengan membangun sinergi kerja
secara bersama, menggabungkan seluruh potensi umat, baik dalam bidang ekonomi,
pengetahuan, masyarakat dan sebagainya.
Agar
program tersebut dapat terarah, maka dalam wukuf di Arafah tersebut, seorang
khalifah harus memberikan pengarahan-pengarahan sebagai kata kunci dan panduan
bagi seluruh umat. Pandangan dan kata kunci itulah yang disebut khutbah Arafah.
Pada waktu
rasulullah SAW sampai di padang
Arafah, beliau mengucapkan khutbah Arafah sbb:
“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hencak aku katakan.
Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak bertemu lagi dengan kalian di tempat ini
untuk selama-lamanya. Hai manusia.., sesungguhnya darah dan harta mu adalah
suci begimu (yakni tidak boleh dinodai oleh siapapun juga), seperti hari dan
bulan yang suci sekarang ini di negerimu. Ketahuilah, sesungguhnya segala
bentuk prilaku dan tindakan jahiliah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan
menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di zaman
jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Tindakan pembalasan jahiliyah seperti
itu yang pertama kali kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas
kematian Rabi bin Harist.
Kemudian Nabi melanjutkan:
“Riba jahiliyah tidak berlaku lagi, dan riba yang pertama
kali kunyatakan tidak berlaku adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib.
Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi.
Wahai manusia, dinegeri kalian ini syaitan sudah putus
harapan sama sekali untuk dapat disembah lagi. Akan tetapi syaitan itu masih
tetap menginginkan yang lain. Syaitan itu akan merasa puas jika kamu melakukan
perbuatan yang hina, sebab itu hendaklah kalian jaga baik-baik agamamu ini.
Wahai manusia, sesungguhnya menunda berlakunya bulan suci
akan menambah besarnya kekufuran, dengan itulah orang-orang kafir menjadi
tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar, dan pada tahun yang lain mereka
sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya
oleh Allah, kemudian mereka meghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan
mengharamkan apa yang telah dihalalkan.
“Sesungguhnya zaman berputar, seperti keadaannya pada waktu
Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, empat bulan
diantaranya adalah bulan-bulan suci, tiga bulan berturut-turut Dzulqaedah,
Dzulhijjah, dan Muharram. Bulan rajab adalah antara bulan Jumadil akhir dan
Sya’ban.
Wahai manusia..takutlah kepada Allah dalam memperlakukan
kaum wanita, karena kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah dan
kehormatan. Mereka dihalalkan bagimu dengan nama Allah. Sesungguhnya kamu
mempunyai hak atas istrimu, dan mereka mempunyai hak atas dirimu. Hak kalian
atas mereka adalah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang lain yang
tidak kamu sukai kedalam rumahmu. Jika mereka melakukan hal itu, maka pukullah
yang tidak membahayakan. Sedangkan hak mereka atas dirimu adalah kamu harus
memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik. Maka perhatikannlah
perkataanku ini, wahai manusia, sesungguhnya aku telah sampaikan.
Aku tinggalkan sesuatu padamu, jika kalian pegang teguh,
kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan sunnah
Nabi-Nya.
Wahai manusia, dengarkanlah dan taatnlah kalian, sekalipun
kamu akan diperintah oleh seorang hamba sahaya dari Habsyah yang berhidung
pesek, selama dia menjalankan kitabullah kepada kalian.
Wahai manusia, berlaku baiklah kalian kepada budak-budakmu,
berilah mereka makan apa yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian dari jenid
pakaian yang kalian pakai. Jika mereka melakukan suatu kesalahan yang tidak
dapat kamu maafkan, juallah budak-budak tersebut dan janganlah kamu menyiksa
mereka.
Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikannlah.
Kalian tahu bahwa setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dan semua
kaum muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil dari
saudaranya kecuali yang telah diberikan padanya dengan senang hati, karena itu
janganlah kamu menganiaya diri sendiri (melakukan kezaliman).
Ya Allah…sudahkah aku sampikan. Wahai manusia, kalian akan
menemui Allah, maka janganlah kalian menjadi sesat sepeninggalku nanti, dan
janganlah sebagian kamu memukul tengkuk sebagian yang lain. Hendaklah orang
yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, barangkali sebagian orang yang
menerima khabar (tidak langsung) lebih mengerti daripada orang yang
mendengarkan secara langsung. Kalian akan ditanya tentang aku, maka apakah yang
hendak kamu katakana…? Mereka menjawab : “ kami bersaksi, bahwa engkau telah
menyampaikan risalah, telah menunaikan amanah dan memberi nasihat.” Kemudian
seraya menunjuk kea rah langit dengan jari telunjuknya, nabi bersabda sebanyak
tiga kali: “Ya Allah, saksikanlah…” (Said Ramadhana Buthi, Sirah Nabawiyah,
2000)
Dari
khutbah Arafah yang dibacakan Nabi dalam haji wada’ (haji terakhir) tersebut,
beliau mewasiatkan sesuatu hal yang penting dalam kehidupan manusia sepanjang
zaman. Pertama, Nabi menyatakan bahwa inilah pertemuan terakhir bagi dirinya
dan umatnya di Arafah, berarti bahwa ini merupakan pengarahan dan wasiat yang
terakhir didengar oleh seluruh umat islam. Ini juga melambangkan bahwa nilai
khutbah di Arafah, adalah khutbah dan wasiat yang perlu dijadikan pegangan
dalam kehidupan. Arafah bukan hanya sekedar acara ritual semata, tetapi
merupakan awal penentuan sikap hidup untuk tahun mendatang. Jika dalam suatu
Negara, ada pidato kenegaraan setiap hari kemerdekaan yang membicarakan program
dan rencana Negara. Jika masyarakat dunia ada pidato awal tahun setiap tahun
baru, maka inilah pidato dab rencangan tahunan bagi umat islam sedunia.
Sebaiknya setiap orang yang sedang wukuf di Arafah menyusun program untuk
menjadi manusia yang mabrur, dan menjadikan umat islam menjadi khairu ummah,
masyarajat terbaik dalam segala bidang kehidupan.
Kedua, dalam khutbah Arafah, Nabi menekankan masalah
keadilan hokum dan saling menghargai hak-hak asasi manusia, sehingga setiap
orang harus dapat menjaga kehormatan orang lain, dan Negara lain. Keadilan dan
persamaan hak dalam hokum dengan menghormati yang lain merupakan asas kedamaian
ditengah masyarakat.
Ketiga, Nabi menekankan keadilan ekonomi dengan meninggalkan
riba, sebab riba adalah bentuk kezaliman ekonomi, sehingga dengan riba sikaya
menzalimi si miskin, si pemilik modal menzalimi si peminkam, sebab itu
rasulullah menyatakan riba dengan segala bentuknya, wajib dihilangkan. Tetapi
lihatlah sekarang, dunia penuh dengan riba, sehingga tiada sistem keuangan
tanpa riba, malahan dengan bunga uang demikian tinggi sehingga Negara miskin
tambah miskin, dan Negara kaya semakin kaya. Untuk itu, dalam menegakkan
ekonomi, bunga dan riba wajib dihapuskan.
Keempat, nabi menegaskan masalah kewajiban manusia untuk
memelihara kehormatan dan hak-hak wanita serta keluarga. Sebab, kehancuran
masyarakat jika wanita dan keluarga tidak mendapat perhatian sepenuhnya. Hak
dan kewajiban istri, suami, anak, saudara, merupakan asas bagi terciptanya
keluarga sakinah, mawaddah warahmah.
Kelima, nabi menegaskan ketaatan dalam bernegara selama
pemimpin dalam kebenaran, walaupun dipimpin seorang hamba sahaya yang hitam
dari Habsyah. Berarti supremasi hokum bukan ditangan penguasa tetapi ditangan
sistem yang bersumber dari al Qur’an.
Keenam, nabi menegaskan sikap ukhuwah dan sinergi dalam
segala hal, sehingga potensi jamaah dapat dikembangkan dengan kerjasama dan
ukhuwah.
Ketujuh, nabi mengingatkan apapun sikap hidup yang kita
lakukan, semuanya akan dipertanggungjawabkan di depan Allah, baik dalam masalah
ritual, masalah ekonomi, sosial, keluarga dan masalah Negara.
Hal-hal
yang rasulullah sampaikan ini, merupakan inti persoalan dunia sampai hari ini,
dari keadilan hokum, keadilan ekonomi dan keadilan berkeluarga serta Negara,
dan hidup berdampingan membina persaudaraan dan ukhuwah.
Semoga
dengan datangnya hari idul adha, mengingatkan kita untuk tetap menjaga amanah
dan wasiat nabi dalam khutbah Arafah ini. Inilah pesan Arafah, dan dasar-dasar
menjadi haji yang mabrur.
Aplikasi
Haji dalam Kehidupan
Dan
sempurnakan haji dan umrah karena Allah
(QS Al
Baqarah : 187)
Banyak orang menyangka bahwa ibadah haji
hanya bersifat ritual, padahal Quran menyuruh kita mencari hikmah dibalik haji
dan umrah untuk dijadikan model hidup yang sempurna , sebagaimana dinyatakan
dalam al Quran.
“Dan
serukanlah kepada manusia untuk melakukan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta dari segenap penjuru yang
jauh, agar mereka dapat menyaksikan manfaat”(QS. Al Haj : 27-28)
Dalam ayat ini Allah menyuruh umat manusia
unyuk melakukan haji dan melihat serta memperhatikan manfaat, hikmah daripada
prosesi ibadah haji tersebut. Dengan demikian dalam prosesi ibadah umrah dan
haji manusia harus dapat mengambil pelajaran, pendidikan, strategi, falsafah
hidup, sehingga menjadi individu yang sempurna, dan menjadi umat dan jamaah
yang terbaik, pribadi terbaik inilah yang harus dibuktikan dalam sikap sehingga
dapat menjadi “insan mabrur”, baik
mabrur secara individu, dan secara sosial berjamaah.
Untuk
mendapatkan mabrur tersebut,beberapa langkah yang perlu dilakukan:
1.Ihram: Kesucian diri dengan mengontrol keinginan dan nafsu.
Langkah pertama untuk menjadi manusia
sempurna adalah keupayaan diri untuk mengontrol diri, dari keinginan dan hawa
nafsu.Dalam ihram seseorang diharamkan dari memakai sepatu yang halal. Ini merupakan
gambaran bahwa seorang individu harus dapat mengontrol antara keperluan dan
keinginan.
Seorang yang sukses adalah individu yang
dapat melihat antara keperluan dan keinginan. Berarti ihram adalah bagaimana
seseorang mengontrol diri dari memakai kekayaan yang berlebihan, memakai
kekuasaan semau-gue, memakai sesuatu milik dengan tidak berguna, mubazir, dan
lain-lain.
Pribadi yang ihram adalah pribadi yang selalu memakai
waktu dengan sebaik-baiknya, bukan untuk permainan dan hiburan, mempergunakan
kekayaan dengan sebaik-baiknya, bukan berbelanja sepuas-puasnya, selalu
memperhatikan mana yang merupakan keperluan (need) dan mana yang bersifat
keinginan (want), terhindar dari sifat “mubazir” dan “langa” (perbuatan,
perkatan sia-sia). Inilah kunci dan syarat utama untuk menjadi manusia mabrur,
manusia sempurna.
2. Thawaf: hidup
dalam lingkaran ibadah.
Thawaf
adalah mengelilingi ka’bah 7 kali. Ini merupakan gambaran dari setiap individu
yang ingin mencapai titik kesempurnaan hidup agar dapat menjadikan seluruh
kegiatan dan aktivitasnya dalam rangka ibadah, pendekatan diri kepada tuhan.
Thawaf juga bermakna bahwa segala gerak
dan langkah hanya dilakukan dalam kerangka syariah, hukum0hukum dan perintah
tuhan. Thawaf juga bermakna selalu melihat dan memperhatikan (muhasabah) diri
apakah seluruh aktivitas keduniaan kita dari belajar, mengajar, berniaga,
berpolitik, berbudaya, apakah sudah dalam kerangka hokum-hukum Allah dan
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Demikianlah makna thawaf dalam kehidupan
sehingga seluruh langkah merupakan bagian dari pendekatan diri kepada tuhan,
sehingga aktivitas tersebut bukan saja merupakan asset dunia tetapi menjadi
asset untuk kehidupan lebih panjang dan kekal di akhirat kelak.
3. Sa’I : Meningkatkan
etos kerja sebagai khalifah.
Manusia
mendapat tugas menjadi khalifah di muka bumi, sehingga seluruh kekayaan alam
dapat menjadi modal yang berguna bagi kehidupan manusia. Khalifah adalah
menguasai bumi, dengan kerja keras. Itulah yang digambarkan dalam ibadah sa’I,
berjalan dan berlari-lari kecil dari bukit safa menuju bukit marwa. Sudah
menjadi sunnatullah, siapa yang mempunyai etos kerja yang tinggi, maka dia akan
menguasai bumi, baik dia itu seorang muslim, kafir, atau atheis.
Penguasaan dunia tidak mungkin didapat
denga beribadah, berzikir, dan berdoa semata, tetapi harus dikuasai dengan
ilmu, kerja, yang professional, disiplin dan ketabahan, dengan manajemen yang
rapi, dan semangat pantang menyerah. Masyarakat muslim terdahulu menjadi
masyarakat khalifah sebab menguasai ilmu
dan teknologi yang dicontohkan oleh Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Al
Khawarizmi dalam bidang matematika, Ibnu Haytam dalam bidan optic, Ibnu Majid
dalam bidang maritime. Ini semua disebabkan mereka mempunyai semangat etos
kerja yang tinggi, semangat ibadah sai, semangat untuk menguasai kehidupan
dunia sebagaiaplikasi tugas khalifa Allah dimuka bumi.
Dengan aplikasi ibadah sai dalam kehidupan
inilah maka umat islam terdahulu menjadi umat teladan, umat tebaik, berprestasi
dalam segala bidang, yang tercatat dengan catatan emas sejarah kemanusiaan.
4. Tahalul: Pelayanan
sosial secara individual.
Tahalul adalah menggunting rambut. Kekayaan,
ilmu, kuasa yang dimiliki seseorang dengan semangat sa’I harus dapat di
“Tahalul” kan dalam arti seluruh kepandaian, keilmuan, pemikiran, kerja
politik, kerja ekonomi, harus dapat menjadi sumbangsih kepada individu yang
lain, sehingga seorang ilmuwan akan mendapat pahala jariah dari teori keilmuan
yang dihasilkan.
Seorang teknokrat dapat pahala jariah dari
terobosan politiknya, dan seorang pengusaha dapat pahala jariah dari sumbangan
sedekah, infaq dari kekayaan yang dimilikinya.
5.Wukuf: Menggalang potensi dan
jaringan, menyusun langkah dan program umat mengatur strategi, manghadapi tanangan dan masa depan. Wukuf adalah
berhenti. Wukuf berarti individu muslim yang telah berprestasi diobidang
masing-masing diharapkan berhenti sejenak, bukan berhanti untuk tidak berkarya,
tetapi berhenti untuk menyatukan langkah, manggalang jaringan dan potensi,
menyusun program untuk menghadapi tantangan dabn masa depan.
Wukuf berarti membentk jaringan
interdisiplin. Wukuf berarti membangun kerjasama antar kelompok umat,antar
jamaah, antar firqah’ menyusun program bersama untuk satu tahun mendatang.
Wukuf adalah kongres umat islam sedunia dalam bidang dan profesi masing-masing.
6.Muzdalifah : Persiapan menghadapi ancaman dan tantangan.
Dari proses wukuf maka umat islam harus
dapat melihat apa saja tantangan internal maupun eksternal.Ancaman dan
tantangan tersebut harus dihadapi dengan kekuatan lahir dan batin.Kekuatan jiwa
dan batin dengan mendekatkan diri kepada Allah,melakukan qiyamul lail,
bermunajat kepadaNya, seperti mengambil batu di Muzdalifah dilakukan di malam
hari lewat tengah malam, bukan disiang hari. Tetapi kekuatan batin harus
diikuti dengan kekuatan lahir, yaitu mempergunakan senjata apapun yang mungkin
dapat dipakai sesuai dengan bentuk tantangan mencari batu, melaambangkan manusia
melawan kekuatan lawan, baik dengan inovasi teknologi dan sistem;
Dengan semangat batu di Muzdalifah berarti
umat islam harus mempersiapkan diri dengan kekuatan ilmu dan teknologi,
kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, kekuatan politik dan kekuatan militer
sehingga umat islam tidak dipermainkan oleh umat yang lain, sebagaimana yang
terjadi selama ini, di Irak, Palestina, Kashmir, Kurdistan, dll.
7.Melontar Jumrah Di Mina : Semangat
perjuangan setelah dari Muzdalifah, jamaah haji akan berangkat menuju Mina
untuk melontar Jumrah. Sebaik sampai, jamaah melontar Jumrah Aqabah, dan
hari-hari selanjutnya melontar Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah.
Apakah
maksud dan hikmah dari melontar Jumrah tersebut?
Melontar jumrah adalah lambang perjuangan
yang harus dilakukan oleh umat islam secara bersama, dengan bidang profesi,
kepakaran masing-masing dengan memakai kekuatan yang dimiliki. Semuanya harus
ikut berperan dalam perjuangan umat dengan profesi masing-masing. Perjuangan
tersebut harus dilakukan dengan teratur dan berkesinambungan, sebagaimana
melontar jumrah dilakukan dengan teratur dari jumrah ula, jumrah wustha, dan
jumrah aqabah, dan berkesinambungan dari hari pertama, kedua dan ketiga.
Perjuangan juga harus mempersiapkan
generasi penerus, sebagaimana melontar jumrah dapat dilakukan dengan nafar
awwal atau juga dengan nafar tsani. Ini menunjukkan setiap perjuangan harus
memiliki estafet, yang berkesinambungan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
8. Menyembelih qurban : Pengorbanan.
Pejuangan yang dilakukan baik secara
individu, apalagi secara kolektif, dalam segala bidang di atas, memerlukan
pengorbanan yang tinggi. Tanpa pengorbanan yang tinggi mustahil suatu
perjuangan akan berhasil, sebagaimana diungkapkan dalam al Qur’an :
“sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat
yang banyak. Maka lakukanlah shalat dan berqurbanlah. Sesungguhnya (dengan
pengorbanan tersebut) maka musuh engkau akan hancur” (QS. Al Kautsar: 1-3)
Dari
ayat di atas dapat dilihat bahwa pengorbanan merupakan syarat untuk dapat
mengalahkan pertahanan dan kekuatan musuh.
Demikianlah nilai-nilai ibadah umrah dan
haji yang harus menjadi pedoman umat islam dalam proses mencapai kesempurnaan
hidup baik, secara individu maupun secara berjamaah.
Dengan melakukan semua langkah diatas maka
seorang muslim dapat menjadi manusia yang mabrur, individu yang berkualitas dan
umat islam menjadi umat yang mabrur, umat teladan.
Maka
dirikanlah shalat dan berkorbanlah (QS. Al Kautsar)
Idul Adha
adalah sebuah sekolah, pendidikan dan media pendidikan bagi umat islam untuk
mencontoh sebuah pengorbanan dari seorang manusia Ibrahim as, yang siap rela
untuk mengorbankan anaknya sendiri Ismail as, demi melaksanakan perintah Allah
SWT, untuk beribadah kepada-Nya.
Pengorbanan
tersebut hanya dapat dilaksanakan jika seseorang telah menjadikan perintah
Allah, lebih utama dari segala apa yang dia miliki, walaupun anaknya sendiri.
Cinta kepada melaksanakan perintah Allah harus lebih tinggi daripada cinta
kepada anak dan harta. Ini merupakan ujian sebuah keimanan. Tetapi jika
seseorang itu (mungkin termasuk saya kali ya…) masih sayang kepada hartanya
daripada mengorbankan harta miliknya pada jalan Allah, maka orang tersebut
belum memiliki kwalitas iman yang diharapkan. Dalam kitab suci Al-Qur’an di
jelaskan :
“Katakanlah: jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaanmu yang khawatir merugi, rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan daripada berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya:, dan Allah tidak member petunjuk kepada orang yang fasik” (QS.
Attaubah:24)
Dari ayat di atas, dapat
dilihat bahwasanya jika seseorang lebih mencintai dirinya, anak-anaknya, harta
kekayaannya, sehingga menghalanginya untuk membelanjakan harta tersebut di
jalan Allah, maka orang tersebut termasuk orang yang fasik, dan mereka akan
mendapat azab Allah.
Dengan kata
lain, dapat dikatakan, bahwa umat islam belum berani berkorban, masih lebih
cinta pada kehidupan dunia, daripada mengorbankan hartanya untuk kepentingan
dakwah dan perjuangan, umat islam pasti tetap dalam keadaan susah dan
menderita. Ini merupakan sunnatullah. Jika umat islam masih lebih banyak
menikmati harta kekayaan yang Allah berikan daripada memberikan harta tersebut
di jalan Allah, maka umat islam tidak akan mencapai kemenangan.
Berani
berkorban, dengan memberikan segala yang dimiliki untuk memperjuangkan agama
Allah, untuk kepentingan umat, merupakan syarat utama dalam sebuah perjuangan,
dan merupakan bukti keimanan kepada Allah SWT. Inilah yang dinyatakan dalam
surah al Kautsar:
“Sesungguhnya kamu
telah memberika kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat kepada
tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang yang membenci kamu dialah yang
terputus”. (QS. Al Kautsar)
Ayat ini menegaskan
bahwa musuh akan hancur, kebathilan akan sirna, jika umat islam sudah berani
berkorban atas segala yang dimilikinya.
Jika umat
islam masih sayang dengan apa yang dimilikinya, masih lebih mementingkan
membuat rumah yang besar daripada membuat sekolah, perpustakaan, madrasah, maka
musuh umat islam tidak pernah bisa dikalahkan.
Ini sebagai
pelajaran kepada kita semua (khususnya saya), bahwa suatu kebenaran harus
diperjuangkan dengan biaya yang tinggi, suatu perjuangan memerlukan
pengorbanan. Jika engkau belum berani berkorban, maka musuh kita tidak akan
pernah kalah. Jika umat islam belum berani berkorban, maka musuh islam tidak
akan pernah terkalahkan, karena umat islam lebih cinta kepada harta.
Untuk
mendidik jiwa siap berkorban setiap saat, maka Allah memberikan kepada umat
islam sebuah ibadah Qurban setiap tahun pada hari raya Idul Adha, dengan
mencontoh pengorbanan nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim as, mendapat kemenangan
sehingga menjadi pemimpin, sebab dia telah berhasil lulus dari ujian
pengorbanan. Dia berani mengorbankan dirinya sendiri, sehingga dicampakkan ke
dalam api yang menyala, demi memperjuangkan ajaran tauhid yang diyakininya. Dia
berani meninggalkan anak istrinya di tengah gurun pasir demi menjalankan
perintah Allah. Ujian tertinggi, dia berani menyembelih anaknya Ismail, yang
sangat dicintainya demi menjalankan perintah Allah.
Jika pada
hari raya idul adha, kita mengikuti Ibrahim as dengan menyembelih kambing,
sapi, unta, berkorban kepada fakir miskin, maka pertanyaan yang sebenarnya
adalah, apakah setelah itu kita berani mengorbankan harta kekayaan kita untuk
berjuang di jalan Allah…?
Jika umat
islam memerluka dana untuk membangun masjid, sekolah, perpustakaan, rumah
sakit, bea siswa, dana pendidikan, dan lain-lain, apakah kita siap berkorban…?
Jika belum,
berarti kita masih mencintai harta kita daripada berkorban di jalan Allah. Jika
demikian, umat islam tidak akan pernah menang, dan musuh islam tidak akan
pernah kalah.
Malahan
jika kita lihat orang kafir, untuk menghancurkan umat islam, mereka telah
berani berkorban dengan segala yang mereka miliki.
Lihat,
bagaimana seluruh perusahaan barat saling mambantu gerakan untuk menghancurkan
umat islam. Lihat….bagaimana besarnya dana yang diberikan oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) barat yang beroperasi di dunia muslim, dengan
memberika bantuan social, pendidikan, bea siswa, dengan tujuan untuk
menghancurkan akidah umat islam. Ribuan mahasiswa muslim diberikan beasiswa
oleh lembaga barat, agar nanti setelah mahasiswa tersebut kembali ke masyarakat
muslim, mengajarkan islam dalam kerangka berfikir barat. Jutaan buku, majalah,
dan artikel media cetak dan jaringan televise mereka dirikan dengan dana yang
sangat besar hanya untuk memberikan informasi yang keliru terhadap umat islam.
Ini semua mereka lakukan dengan mengorbankan harta kekayaan mereka untuk
kepentingan musuh mereka.
Jika mereka
menang dan menjajah umat islam secara intelektual, informasi, budaya dan
teknologi, maka memang suatu kewajaran sebab mereka telah berani mengorbankan
harta kekayaan mereka untuk menyerang pemikiran dan akidah umat islam. Tetapi
di saat yang sama, umat islam tidak berani berbuat yang sama, umat islam lebih
cinta kepada kemewahan daripada perjuangan. Umat islam paling-paling berqurban
dihari raya, atau memasukkan uang recehan ke dalam infaq masjid, sedangkan
mereka memasukkan jutaan dolar pada lembaga mereka. Kita sibuk dengan berqurban
ritual, membangun masjid, sedangkan mereka membangun stasiun tivi, membangun
lembaga riset, memberika beasiswa kepada anak-anak muslim, sehingga anak-anak muslim
kita menjadi ‘orang mereka’
Sejarah
telah mencatat, bahwa kemenangan umat islam di masa lalu tidak terlepas dari
pengorbanan umat islam terdahulu. Sewaktu hijrah Abu bakar membawa seluruh
kekayaannya sebanyak 5000 dirham untuk dipergunakan dalam perjuangan bersama
nabi SAW. Utsman bin Affan berani berkorban seribu dinar untuk suatu perang,
juga memberikan seribu ekor binatang tunggangan dan 50 ekor kuda untuk perang
tabuk, dan dalam perang yang lain Utsman bin Affan menyumbang sebanyak 950 ekor
unta dan 30 ekor kuda. Abdurrahman bun Auf berkorban sebanyak 40 ribu dirham,
500 ekor kuda, dan 1500 ekor unta untuk suaru peperangan. Sikap berkorban
inilah yang menjadikan umat islam selalu mencapai kemenangan dimasa Rasulullah
dan sahabat.
Demikian
juga sikap pengorbanan dari umat islam yang begitu hebat dengan membangun rumah
sakit wakaf, perpustakaan wakaf, universitas wakaf, pusat riset wakaf, rumah
anak yatim wakaf, jalan-jalan wakaf, dan beasiswa untuk mahasisiwa, penulis,
ulama, dan segala keperluan pendidikan dan riset yang begitu besar, sehingga
pada masa lalu umat islam mencapai masa keemasan dalam budaya, teknologi,
ekonomi, polotik dan ilmu pengetahuan seperti di Baghdad, Andalusia. Ini semua
dapat tercapai jika umat islam mempunyai sikap siap berkorban, mengorbankan
harta kekayaan demi kepentingan umat, mbukan hanya sekedar berkorban kambing,
atau umrah dan haji setiap tahun. Fa’tabiruu ya ulil albab…..
Nah, meski Hatim
terkenal karena kelembutan budinya, sesekali waktu dia bisa marah juga lho…..ya
iyalah! Namanya juga manusia! Tapi, bedanya, kemarahan Hatim itu bener-bener karena
terpaksa, dan alasannya juga kuat, lho!
Nah, salah
seorang murid Hatim, Sa’ad ibnu Muhammad ar-Radhi meriwayatkan, kalo selama
bertahun-tahun dia menjadi murid Hatim, selama waktu itu hanya sekali dia
melihat Hatim marah besar!
Ceritanya
gini, waktu itu, Hatim pergi ke pasar. Di sana,
ia melihat seorang lelaki pedagang makanan lagi marah-marah, sambil mencengkram
kerah leher seseorang, yang ternyata adalah salah seorang muridnya. Udah gitu,
dia pake teriak-teriak,” ini anak sering banget ngambil makanan daganganku dan
ia nggak bayar sepeserpun!”
“Wahai
tuan, berbaik hatilah,” kata Hati lemah lembut sambil berusaha menengahi.
Sebetulnya dia malu juga, tapi dia tahu persis, murid-muridnya emang banyak
yang miskin, sehingga emang banyak yang minta makan pada orang lain.
Saya nggak
mau berbaik hati. Saya ingin uang saya,” teriak lelaki itu lebih keras lagi.
Semua
perkataan Hatim untuk membujuk lelaki si pedagang itu nggak membawa hasil.
Lama-lama, Hati kesel juga. Ini orang kok gak tahu diri bener, sih? Hatim pun
marah. Seketika itu juga ia melepaskan jubahnya dan melemparkannya ke tanah
ditengah-tengah pasar itu. Seketika, jubah itu penuh dengan koin-koin emas.
“silakan,
ambillah yang menjadi hak kamu, jangan lebih! Kalo nggak, tangan kamu bakal
lemah lunglai!” Kata Hatim dengan keras.
Si pedangan
itu buru-buru memunguti koin-koin emas itu sampai sejumlah haknya. Tapi, nah,
ini dia, keluar sifat dasar manusianya: rakus! Si pedagang itu masih juga
ngambil yang bukan haknya! Seketika itu juga, tangannya menjadi lemah lunglai
nggak berdaya.
Sahl
dan Amir yang Betobat
Sahl ibn ‘Abd Allah ibn
Yunus, Abu Muhammad al Tustari (wafat pada 283 H), biasa dipanggil Sahl At
Tutari, adalah seorang sufi yang dijuluki Shaykh al- ‘arifin, dan Shuufi al
Zahid.
Sejak
kecil, umur 3 tahunan, ia sering terbangun di tengah malam, melihat pamannya,
Muhammad ibn al-Sawwar, melakukan shalat malam. Diceritakan ia telah menghafal
al Qur’an dalam usia 7 tahun, dan hidup sejaman dengan Imam Abu Dawud, seorang
imam hadits yang kondang. Ia besar dibawah bimbingan seorang sufi uang juga
kondang, Dhu al-Nun al-Misri.
Nah,
seperti juga orang-orang saleh pada jamannya, Sahl terkenal maqbul do’anya.
Suatu hari, seorang amir (penguasa) jatuh sakit, sebegitu parahnya,
sampai-sampai seluruh tabib angkat tangan. Dalam keadaan lemah, ia bertanya,
“Apa nggak
ada, seorang yang bisa berdo’a bagi kesembuhan saya?”
Orang-orang
pada berbisik. Akhirnya, ada yang menjawab,
“Sahl aja
kayaknya. Kata orang-orang, do’a-do’anya selalu terkabul.”
Akhirnya
dikirimlah utusan, dan Sahl diminta untuk menolong. Dasar Sahl orang saleh, ia
pun menyanggupi. Dia dateng dan saat menemui sang Amir, Sahl bilang,
“do’a Cuma
bakal efektif bagi orang yang bener-bener menyesali kesalahannya. Dalam penjara
bapak, ada banyak orang-orang yang seharusnya nggak bersalah tapi malah
ditahan. Bebaskan mereka.”
Wah, jaman
itu emang jamannya orang enteng aja dijeblosin ke penjara padahal nggak salah
apa-apa! Sang Amir pun sadar. Jadi, buru-buru ia perintahkan melepaskan mereka
semua, dan ia bertobat habis-habisan. Nah, barulah setelah dia selesai
melakukan hal itu, Sahl berdo’a,
“Ya Allah,
sebagaimana Engkau telah menunjukkan kehinaan padanya karena ketidaktahuannya,
kini tunjukkanlah kemuliaan padanya karena ketaatannya. Sebagaimana Engkau
telah menyelubungi batinnya dengan pakaian tobat, kini selubungilah lahirnya
dengan pakaian sehat.”
Subhanallah,
seketika itu juga, baru aja Sahl selesai berdo’a, sang Amir langsung sehat
kembali. Waduh, terang aja dia girang bukan kepalang. Buru-buru dia masuk ke
dalam, dan keluar dengan setumpuk uang. Eh, Sahl malah menolaknya dan ia
langsung pergi meninggalkan istana sang Amir tersebut.
Rupanya,
diantara murid-murid yang ikut Sahl, ada yang merasa sayang juga ngelihat uang
sebanyak itu koq dianggurin begitu aja. Salah seorang muridnya lantas bilang,
“Guru,
andai saja anda menerima pemberiannya, kita tentu dapat membayar utang-utang
kita. Bukankah itu lebih baik?”
Sahl
tersenyum, lalu menjawab, “apakah kamu butuh emas?lihatlah!”
Wah, murid
Sahl itu melihat dan melongok! Seluruh tanah disekitar tempat itu penuh dengan
emas dan batu mirah.
Sahl
berkata, “mengapa seseorang yang menikmati kemurahan hati Allah harus menerima
sesuatu dari makhluk-Nya?”
Sampai di
sini nggak diceritakan, apakah emas-emas itu akhirnya diambil sama anak buah
Sahl atau nggak. Mestinya sih iya, ya? Tapi itu bukan urusan kita. Dan
sepertinya, Sahl lagi mengajarkan, kalo yang namanya keikhlasan karena Allah
akan diganti dengan yang lebih baik.
Buat
kita-kita para professional, jangan cemas dulu. Ini bukan berarti kita nggak
boleh terima honor, misalnya. Tapi, ada kalanya kehadiran kita perlu untuk
diikhlaskan demi menolong orang yang memang bener-bener membutuhkan, bener-bener
dengan mengharap ridha Allah.
Kalo udah
gitu, yakin deh, Allah pasti mengganti. Ya, kayak Sahl.
Shalat
Tustari & Tetangga Majusinya
Kisah di
bawah ini agak simpang siur. Ada
yang mengatakan kalo yang mengalami hal ini adalah Hasan Al Bashri, tapi ada
yang bilang, ini kejadian pada Sahl at Tustari. Nah, saya ambil yang riwayatnya
tentang Sahl aja, deh.
Konon, si
Sahl ini mempunyai tetangga Majusi dzimmi. Maksudnya tetangga disini bukan
sebelah menyebelah, tapi Sahl tinggal dilantai bawah, tetangga majusi itu di
atas.
Nah,
tetangganya itu punya WC yang bocor dari sebuah lubang, dan alamak, sebagian
airnya mengalir ke salah satu bagian rumah Sahl. Pembantu Sahl sempet mau
protes, tapi Sahl justru melarangnya. Malah, setiap hari Sahl meletakkan sebuah
bejana tepat di bawah mengalirnya air itu untuk menampungnya. Diam-diam, Sahl
lalu membuangnya di malam hari biar nggak ketahuan orang lain. Begitulah terus
menerus sampai waktu yang cukup lama.
Sampai
akhirnya, menjelang wafat Sahl minta dipanggilkan tetangganya yang majusi itu.
Ia berkata, “kamu masuk deh, dan lihat!”
Si tetangga
itu masuk dan melihat sebuah lobang dan ia bercampur kotoran jatuh dalam
bejana. Ia kaget setengah ampun, karena baru sadar betapa air itu dengan aroma
nen menawan itu, datang dari kamarnya. Dengan perasaan campur aduk ia bertanya,
“apakah
yang saya lihat ini? Mengapa anda diam saja?”
“ah, ini
sudah berlangsung lama,” jawab Sahl, “ saya mewadahinya di siang hari dan
membuangnya di malam hari. Jika bukan karena ajal saya sudah dekat, dan saya
khawatir kepada akhlak selainku, niscaya saya nggak bakal ngomong sama kamu
soal ini. Sekarang terserah kamu….”
Wah, udah
dirugikan sekian lama Sahl malah ngomong gitu. Coba, siapa yang nggak kagum?
Terang aja, sang tetangga majusinya itu merasa takjub. Soalnya, dalam versi
yang lain, konon Sahl juga mengatakan, kalo dia nggak mau ngomong dan
menegurnya, karena khawatir melukai hati dia sebagai tetangganya, padahal
ajaran islam concern bener sama ngejaga hak-hak tetangga.
Akhirnya,
saking kagumnya, dia bilang,
“wahai
Syaikh, anda telah bergaul dengan saya begitu mulia, dan seperti ini terjadi
sejak lama dan saya tetap berada di dalam kekufuranku. Ulurkan tangan anda,
saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa
Muhammad itu utusan Allah.”
Usai mendengar
itu, Sahl pun wafat.
Satu bukti
lagi, kalo kemuliaan akhlak bisa mengalahkan banyak hal. Setuju, kan?