Selasa, 10 November 2009

Cerita Sahabat Muslim 18




            Kisah Kasih Gara-Gara Buah Apel

            Pada masa kejayaan kekhalifahan Islam Abbasiyah, ada seorang pemuda bernama Basyir. Ia tinggal di sebuah desa di kaki pegunungan, yang letaknya dua hari perjalanan unta dari kota Baghdad.
            Basyir ini dikenal sebagai pemuda yang tampan, saleh, rajin, dan ringan tangan. Ups, ini bukanya suka memukul, tapi maksudnya suka menolong, gitu. Kalo ngeliat ada orang tua yang kepayahan membawa barang bawaan dari pasar, Basyir buru-=buru nawarin bantuan. Zaman itu, bawa air biasanya buat minum biasanya pakai gerabah. Nah, kalo ada orang tua yang keberatan memanggulnya di kepala, Basyir juga nggak segan-segan ngebantuin.
            Kalo selesai shalat Ashar sampe waktu masuk maghrib, ia belajar di madrasah ulama-ulama terkemuka di desanya. Ia juga dikenal cerdas, sehingga nggak heran kalo diantara teman-temannya, Basyir jadi tempat bertanya perihal Ilmu-ilmu agama.
            Sama anak-anak kecil, ia juga tekenal sayang, tak jarang, ia sengaja membeli kue-kue, gula-gula atau kismis untuk dibagi-bagikan. Wah, pokoknya dia ini pemuda ideal banget, deh.
            Basyir sendiri hidup sama kedua orang tuanya yang sudah tua. Usai shalat shubuh, dia udah sibuk melakukan berbagai pekerjaan rumah: mulai dari nimba air dari sumur ke penampungan, sampai menggiling gandum buat keperluan makan sehari-hari. Setelah itu, ia bakal siap-siap menuju lading gandum milik keluarganya. Lading itu adanya di kaki bukit, yang di tengah-tengahnya mengalir sungai dangkal namun cukup deras. Pohon-pohon sitrun dan zaitun tumbuh berderet-deret rapi di sisi-sisi lading, menjadi tempat yang nyaman bagi burung-burung untuk membuat sarang. Menjelang tengah hari, biasanya sang ibu bakal mengutus seorang anak kecil untuk membawa makan siang untuk Basyir.
            Suatu hari, matahari baru saja tergelincir dari atas kepala, shalat dzuhur juga baru kelar ia tunaikan. Basyir duduk di bawah sebatang pohon yang rindang, di sisi sungai. Peluh bercucuran di sekujur tubuhnya. Kakinya menjuntai, masuk ke dalam air sehingga air mengalir sejuk di sela-selanya. Uh, segar. Apalagi, jam-jam segini, mustinyasi Ali, anak kecil yang biasanya nganterin makanan siangnya, udah nongol. Perutnya sendiri udah mulai kriuk-kriuk.
            Lama dia menunggu, mana nih, si Ali kecil? Zaman itu belum ada HP, jadi boro-boro dia bisa kirim SMS. Basyir Cuma bisa melotot ke kejahuan, berharap si Ali kecil nongol.
            Namun, sia-sia. Ya, dia nggak tahu kalo hari itu si Ali mendadak sakit, sehingga dia emang nggak bisa jalan ke luar rumah. Saat itulah, ia memandang permukaan sungai. Matanya tertumpu pada sebuah benda bulat kemerahan yang timbul tenggelam terbawa arus.
             “ Subhanallah, apaan tuh? Keliahatannya kayak buah apel!” pikirnya.
            Tanpa pikir panjang, Basyir melompat ke sungai yang airnya Cuma setinggi lutut. Allah Maha Pmurah. Benda itu ternyata emang benar sebuah apel merah sebesar kepalan tangan. Segar.
            “Waduh, rejeki, nih!” serunya girang pula. Karena lapar, bismillaah, ia cepat-cepat melahapnya. Nikmat…….
            Eh, baru juga beberapa gigitan, Basyir ingat sesuatu.
            “Astaghfurullah, siapa pemilik apel ini? Sayakan belum minta izin sama yang punya.” Basyir nyaris tersedak. Reflek, ia buang sisa apel yang masih ada di mulutnya. Tapi kan, sebahagian sudah melengang masuk dalam perutnya. Ini yang membuat Basyir pucat pasi. “ Ya Allah, ampuni saya! Saya udah makan makanan yang bukan hak saya.”
            Basyir sadar, ia harus minta keikhlasan dari pemilik apel itu. Kalo nggak, apel itu udah jadi barang haram baginya. Aduh! Basyir ingat pelajaran di madrasahnya. Sabda Nabi, jika barang haram yang termakan, maka akan menjadi daging yang di bakar oleh api neraka.
            Cemas dan khawatir, Basyir bangkit. Rasa laparnya sekonyong-konyong raib entah kemana. Tekadnya udah bulat.
            “saya mesti temuin orang yang punya apel ini, minta keikhlasan dari pemiliknya, “ gumamnya. Sisa apel yang belum dimakan di ambil lagi dan dia kantungi. Basyir lantas pergi menyusuri tepi sungai, berjalan mendaki kea rah hulu sungai. Ia ingat pada sebuah desa di perbukitan sana, yang emang banyak memiliki kebun apel.
            Menjelang matahari tergelincir dan masuk waktu Ashar, Basyir tiba disebuah kebun apel yang luas pada desa yang dituju. Ia celingukan, dan emang kayaknya apel-apel yang lebat di pohon-pohon itu, sama dengan yang baru ia kunyah sekian jam yang lalu. Apalagi, kebun itu terletak persisi di tepi sungai. Masuk akal kan, kalo ada sebutir yang jatuh, terus kebawa arus sungai ke tempat lading gandumnya?
            Dengan mantap, Basyir melangkah masuk ke dalam kebun, dan menjumpai seorang pria tua, dengan wajah yang teduh dan tubuhnya yang subur, berpakaian bagus dan jubah yang halus, sedang berkeliling diiringi beberapa tukang kebunnya. Janggut putih yang tumbuh rapi di wajahnya bikin hati Basyir jadi lega. Orang tua itu tampak sibuk member petunjuk pada tukang-tukang itu.
            Melihat itu semua, dalam hati Basyir berkata, “ Ah, orang tua ini pasti pemilik kebun apel yang saya cari-cari. Kayaknya sdia juga orang alim dan baik, nih.”
            Basyir segera menghampirinya, memberi salam dengan ta’zim sambil berkata, “ Wahai tuan pemilik kebun yang mulia, terimalah salamku. Saya mohon maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan tuan.”
            Orang tua itu terkejut rada kaget juga melihat kedatangan Basyir. Tapi rasa kaget itu sekejap hilang, begitu didengarnya kalimat yang penuh sopan santun itu. Kini giliran Sang Bapak yang tersenyum,
            “Alaykum salam, selamat datang anak muda. Kelihatannya kamu bukan penduduk desa kami, ya? Apa keperluanmu?” ujarnya ramah.
            Dapat sambutan yang juga ramah, Basyir pun lega. Akhirnya dia langsung cerita tentang dirinya, asal kediamannya, sampai dengan buah apel yang ditemuinya, dan perjalanannya mencari pemilik buah apel itu.
            “Jadi, pak. Saya ma uterus terang. Apa benar ini apel milik bapak?” Tanya Basyir sambil nunjukin sisa buah apel yang nggak jadi dimakannya.
            Orang tua itu tersenyum, dan menjawab, “Wah, emang bener tuh, apel itu emang hasil dari kebun saya. Yah, ini kan apel jenis terbaik dari sini. Kalo apel Malang, tentu saja kamu harus mencarinya di Indonesia. Eh, kok jadi ngelantur. Maaf, maaf. ‘tuh, kamu lihat sendiri, kan?” sambil berkata, orang tua itu menunjuk pada buah-buah apel yang bergelantungan di pepohonan.
            “Nah,” kata Basyir lega, “ sekarang, saya mohon keikhlasan dari bapak, karena saya udah makan buah apel dari kebun bapak ini tanpa meminta izin sebelumnya. “ kata Basyir lega,
            Sang bapak itu diam-diam kagum menyaksikan tekad si Basyir. Kalo mau, bisa aja dia diam. Siapa sih, yang peduli dama apel satu biji diantara ribuan apelnya ini? Kok ada ya, anak muda kayak gini?
            Para tukang kebun yang melihat kejadian ini pun diam-diam saling berbisik. Siapa sih actor sinetron, eh, anak muda gagah dan tampan ini, yang tutur katanya begitu sopan mempesona, yang akhlak dan sikap hati-hatinya begitu mulia, dan rela menempuh jalan jauh Cuma untuk mendapatkan keikhlasan sebuah apel?
            “Ehm, nama kamu siapa, anak muda?”
            “Saya? Oh, saya Basyir, pak.”
            “Oke, Basyir. “ akhirnya bapak itu berkata setelah terdiam agak lama “ tapi saya Cuma mau mengikhlaskan buah apel itu, dengan satu syarat.”
            “Syarat apa ya, pak?” Tanya Basyir. Dalam hati, ia udah siap mental, kalo emang sampai diperintahkan melakukan apa saja. Ibaratnya, disuruh membersihkan kebun seluas ini seharian juga, dia terima. Yang penting, si bapak itu ikhlas sama apelnya yang udah dia makan.
            “Syaratnya gampang, Syir. Kamu mesti nikah sama putriku,” ujar bapak pemilik kebun itu kalem.
            Hah? Nggak salah denger, nih?
            Tapi, sebelum Basyir sempat melompat teriak Yes! Yes! Yes! Karena bakal dikawinkan, si bapak itu buru-buru melanjutkan,
            “Tapi kamu musti tahu, Basyir. Putriku itu adalah seorang gadis yang tuli, buta, bisu dan pincang. Bagaimana?”
            Basyir tertegun. Niatnya histeris kegirangan langsung terbang, berganti dengan batin yang diliputi rasa bimbang. Duh, syaratnya kok gini amat?apa-apaan nih? Tapi dasar pemuda shaleh, Basyir sadar nggak mungkin dia menjilat ludah sendiri. Akhirnya, dengan mantap iaberkata, “Baiklah, insya Allah saya bersedia menerima syarat itu.”
            Saat itu juga, panggung terbuka, dan music ala royal philharmonic orchestra berkumandang dengan megahnya. Eh, itu sih khayalan saya. Bukan. Maksud saya, saat itu juga, bapak pemilik kebun menjabat tangan kanan Basyir dan ijab Kabul singkatpun terjadi. Masih separo nggak percaya, Basyir dan mertua barunya itu kini berjalan keluar kebun, menuju sebuah rumah besar dengan pilar-pilar dan air mancur di tengah-tengah halamannya. Rumah yang megah itu terletak di pusat desa. Bapak tua itu masuk lebih dahulu untuk member tahu putrinya kalo kini, dia sudah bersuami.
            Saambil menunggu, Basyir termangu. Dalam hati ia berdo’a, “Ya Allah, tolong kuatkan hati saya dalam menerima keputusan-Mu. Saya mohon petunjuk-Mu, karena semua kulakukan demi mendapat keridhoan-Mu.”
            Nggak lama kemudian, sang ayah mertua keluar dari dalam rumah. Sambil menunjuk kea rah sebuah kamar, ia berkata, “Basyir, sekarang kamu temui istrimu.”
            Basyir mengangguk. Sumpah! Hatinya deg-degan abis, membayangkan istri macem apa yang bakal dijumpainya.
            “Tapi, kamu mesti tahu,Basyir. Putriku itu adalah seorang gadis yang tuli, buta, bisu, dan pincang. Bagaimana?” kata-kata pemilik kebun, eh, papa mertuanya itu, kembali terngiang di kepalanya.
            Akhirnya Basyir sampai juga di depan kamar yang dituju. Pelan-pelan, ia mengucap salam dan lambat-lambat mengetuk pintu. Yah, dia toh nggak bakal denger juga, gumam Basyir. Cuma, tahu-tahu terdengar sahutan lembut lagi merdu menjawab salam yang ia ucapkan…”
            “Wa’alaikumsalam, selamat datang suamiku…”
            Basyir terkejut, darahnya serasa kering seketika. Lho, katanyua tuli? Tapi, ah, pantang mundur, nih. Ia kuatkan hati, dan melangkah masuk meski dengan langkah ragu. Usai empat langkah yang terasa berat, dihadapannya kini terlihat seorang wanita dengan cadar menutupi mukanya, tengah duduk seperti sudah lama menantinya. Nah, waktu melihat Basyir, perlahan dan anggun, wanita itu membuka cadarnya.
            Basyir nyaris pingsan. Gabungan wajah 10 miss universe itu kini tampak di hadapannya. Bidadari! Aku melihat bidadari syurga! Basyir terperangah dan mencubit kulit lengannya sendiri sakit!
            “Ya Allah! Aku nggak mimpikan, tapi, masya Allah, ia nggak buta. Dia menjawab salamku, itu artinya dia nggak bisu dan tuli!” Basyir berteriak dalam hati. Apalagi, sang dara jelita tiada tara itu kini melangkah menghampirinya, meraih tangan Basyir dan menciumnya dengan takzim. Ia bergerak dan berjalan dengan sempurna. Tidak pincang seperti yang digambarkan oleh ayahnya.
            Tapi seketika itu juga Basyir tersadar. Ia yakin ada sesuatu yang nggak beres. Dengan meminta maaf, cepat-cepat ia keluar dan mencari-cari sang mertua. Dilihatnya, sang papa mertua sedang duduk di teras rumah, buru-buru Basyir menghampiri.
            “Eh, kamu nak Basyir. Ada apa?” tegurnya ramah, meski agak kaget melihat Basyir yang muncul tiba-tiba.
            “oh bapak. Maafkan saya, saya….demi Allah, saya ikhlas dengan syarat yang bapak minta dari saya. Tapi mungkin saya salah menerimanya. Putrid bapak, dia…..anu…..eh….”
            “Ya, anakku, ada apa dengan dia?”
            “Pak, dia nggak buta, dia nggak tuli, dia nggak bisu dan pincang seperti yang bapak gambarkan, jadi bapak mungkin salah memberikan putrid yang bapak maksudkan…”
            Sang papa mertua tersenyum lebar. Lagi-lagi dia merasa bahagia. Aku nggak salah pilih! Anak muda ini bener-bener punya integritas diri yang luar biasa, begitu kira-kira dia membatin kalo dia hidup di jama sekarang. Dia tepuk pundak Basyir, dan kemudia menyuruhnya duduk.
            “Basyir, anak saya emang buta, karena sepengetahuan saya, matanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang diharamkan Allah ta’aala. Begitu juga telinganya, ia selalu gunakan untuk mendengarkan hal-hal terpuji, dan karenanya aku pikir dia tuli dari hal-hal tak berguna.”
            Sang papa mertua diam sebentar, melihat reaksi Basyir. Lalu,
            “Mulutnya, ah, lebih sering dia gunakan untuk berdzikir menyebut nama-Nya, mengucapkan kata-kata dengan sesama, dan jauh dari pembicaraan yang sia-sia dan nggak berguna. Ia juga pincang, kalo musti pergi ke tempat-tempat dugem dan maksiat, karena memang, sejauh sepengetahuanku, langkahnya selalu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan pada keta’atan. Nah, sekarang kamu mengertikan, Basyir?”
            Basyir kembali bengong. Oh, jadi init oh, maksudnya? Tapi cepat-cepat ia menukas, “lantas, kenapa bapak memilih saya?sayakan baru bapak kenal, sementara putrid bapak, mestinya dia dapet orang yang jauh lebih tajir dan sholeh daripada saya.”
            Kini senyum sang papa mertua semakin mengembang.
            “Saya yakin, tindakan kamu mencariku untuk meminta keikhlasan atas apel dari kebunku, adalah petunjuk Allah tentang siapa diri kamu sebenarnya. Padahal, apalah artinya sebuah apel diantara ribuan apel dari kebunku ini? Tapi, Basyir, demi Allah, kamu sudah membuktikan keta’atanmu dan rasa takutmu kepada Allah SWT, dengan cara yang begitu indah. Makanya, saya yakin saja, kamulah jodoh yang disiapkan Allah SWT untuk menjadi suami dari putriku.”
            Singkatnya, Basyir hidup berbahagia dengan istrinya yang canti dan shaleha itu. Pernikahan itu membuahkan seorang putra, yang oleh mereka diberi nama Nu’man.
            Kelak di kemudian hari, Nu’man bin Basyir dikenal sebagai seorang ulama besar yang melimpah ilmunya, termasyur kehalusan budinya dan keuliaan akhlaknya, keteguha sikapnya, arif dan bijaksana. Dan Nu’man bin Basyir, lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah, pelopor madzhab Hanafi.