Selasa, 17 November 2009

Cerita Sahabat Muslim 22


Tabib yang sebenarnya

            Suatu kali Junaid merasa sakit pada matanya. Jadi, iapun memanggil seorang tabib yang beragama Nasrani. Usai memeriksa mata Junaid,  sang tabib berpesan.
            “kalo nanti matamu terasa berdenyut-denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,” nasihatnya.
            Eh, begitu sang tabib pergi, Junaid malah berwudhu, shalat, kemudian pergi tidur. Ketika ia bangun matanya malah sembuh. Lalu, saat itu ia mendengar sebuah suara berkata, “Junaid sudah mengabaikan matanya demi meraih keridhaan kami. Jika demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya itu akan kami kabulkan.”
            Seperti baiasa, pagi itu Junaid pun keluar rumah. Di jalan, tak berapa lama kemudian, ia berpapasan dengan sang tabib yang memeriksa mata Junaid. Wah, sang tabib merasa surprise juga, karena dilihatnya mata Junaid telah sembuh.
            “Hai Junaid, apa yang kamu lakukan?” Tanya sang tabib.
            “ah, saya minta maaf udah melanggar nasihatmu. Saya berwudhu untuk shalat,” jawab Junaid.
            Konon mendengar itu, seketika itu pula sang tabib mengucapkan dua kalimat syahadat.
            “Ini adalah penyembuhan sang pencipta, bukan makhluk,” komentar tabib tersebut waktu dia ditanya kenapa dia spontan masuk islam. “Junaid, kalo begini, sebenarnya mata sayalah yang sakit, bukan matamu. Kamulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.”

Ingin bertemu iblis
            Suatu hari, entah ada angina pa, Junaid tiba-tiba kepikiran pengen ngeliat iblis. Dia lalu berdiri di depan pintu masjid. Eh, nggak lama, Junaid ngeliat seorang lelaki tua mendekat dari kejauhan. Saat dia memandangnya, rasa ngeri tiba-tiba memasuki dirinya.
            “Siapa kamu?” Tanya Junaid.
            “Yang engkau ingin temui.”
            “Sang terkutuk,” Junaid memekik. “ Apa yang membuat kamu tidak mau sujud kepada Adam?”
            Iblis menyeringai, “Bagaimana kalo kamu jadi saya, Junaid?apakah saya harus menyembah selain diri-Nya?”
            Sejenak, Junaid mengaku merasa bingung mendengar perkataan iblis ini. (sama! Saya juga. Gile bener nih, si iblis. Pinter banget ngelesnya.) tapi kemudian, sebuah suara berkata direlung hatinya,
            “Katakanlah (pada iblis), ‘Dasar kamu pembohong! Kalo kamu bener-bener hamba Allah yang sejati, kamu pasti menuruti perintah-Nya. Kamu nggak bakal pernah mengabaikan-Nya dan bermain-main dengan penyangkalan.”
            Spontan, Juniad meniru kata-kata itu, dan saat iblis mendengar kata-kata itu, ia pun berteriak keras, “ Demi Allah, Junaid. Engkau telah menghancurkan ku!” kemudian iblis itupun lenyap.


Menjaga pikiran

          Kisah ini juga soal gimana kerasnya seorang sufi dijaga ama Allah, bahkan dari pikiran yang buruk, karena pikiran yang buruk itu bisa merusak amal kebaikan yang udah susah payah kita lakukan. Dan ini terjadi juga pada Junaid.
            Suatu siang, majlis ilmu yang dipimpin oleh Junaid baru aja selesai. Eh, tahu-tahu, seorang lelaki bangkit dan mulai mengemis di antara para jama’ah. Padahal, kalo ngeliat potongannya, ini cowok mestinya mah sehat bener. Ngeliat hal itu, Junaid sempat membatin.         
            “wah, cowok itu kelihatannya bener-bener sehat wal’afiat. Mestinya sih, dia mampu bekerja buat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi, kanapa dia malah mengemis dan menghinakan dirinya sendiri?”
            Nah, nggak tahunya, malam itu, Junaid bermimpi hadir di sebuah jamuan makan. Lantas, sebuah nampan dengan hidangan tertutup disuguhkan di hadapannya.
            “makanlah Junaid,” terdengar sebuah suara mempersilakan.
            Saat Junaid membuka penutup wadah hidangan itu, waduh, dia terkejut! Yang dia lihat, lelaki yang mengemis tadi siang di majlisnya, terbaring tak bernyawa di wadah itu.
            “Apa-apaan nih? Saya nggak makan daging manusia, “ protesnya.
            “ Lalu, mengapa kamu kemarin berbuat hal itu di masjid?” Tanya suara itu lagi.
            Mendengar teguran itu, Junaid tersentak, sampe terbangun saking kagetnya. Ia langsung teringat sama lelaki yang mengemis dimajlis siang tadi. Buru-buru Junaid sadar, kalo ia bersalah telah menghujat pengemis itu dalam hatinya. Mimpi itu, dia yakin banget, adalah teguran karena pikiran buruknya itu.
            Dalam memorynya, Junaid mengisahkan
            “Saya terjaga dalam ketakutan. Cepat-cepat saya berwudhu dan shalat dua rakaat. Malam itu juga, buru-buru saya pergi mencari pengemis itu. Lalu, saya lihat dia ada di tepi sungai Tigris, sedang memunguti sisa-sisa sayuran yang di cuci orang-orang di sana dan dia pun memakannya…”
            “…..lelaki itu mengangkat kepalanya, melihat saya yang berjalan menghampirinya. Ia lantas menyapa, Junaid, apa kamu udah bertobat atas pikiran-pikiranmu itu tentang aku?”
            “Ya, saya udah tobat…” jawab saya lemah.
            “kalau begitu, pergilah. Kali ini, jagalah pikiran-pikiranmu!”

            Nah, kisah-kisah semacam inilah, antara lain, yang membekas kuat pada diri saya. Bagi para sufi dan wali Allah sejati, nggak adal peluang sedikitpun untuk merasa dirinya sombong terhadap orang lain, meskipun amal ibadahnya udah segunung.
            Buat kita barang kali, jangankan Cuma menggumam, kayaknya kalo ngobrol nggak ngomongin orang, rasanya seperti sayur kurang bunbu! Padahal, ngomongin kejelekan orang alias ghibah itu, emang digambarkan oleh Al Qur’an sebagai, “memakan daging saudaramu sendiri yang sudah mati…” (QS. Al Hujarat, 49:12)
            Ih, jijikan?nah, karena Allah Maha Sayang pada hamba-hamba-NYa yang ikhlas itu, DIA juga nggak rela hati hamba-NYA terkasih itu di kotori, even oleh prasangka buruk dan rasa sombong sebiji sawi pun! Kalo kita gimana?