Minggu, 08 November 2009

Cerita Sahabat Muslim 17


Berhaji Meski Gak Pergi


            Berhaji tanpa pergi?
            Kalo soal ini, kita mesti baca kisahnya Abdullah bin Mubarak, seorang ulama yang kondang banget keluasan ilmu dan akhlaknya. Ahli ibadah dan mencintai hidup yang bersahaja, sehingga dia dikenal juga sebagai seorang sufi. Beliau hidup pada masa khalifah al Mutawakkil di zaman kekhalifahan Abbasiyah.
            Ibnul Mubarak uga di kenal sebagai ahli hadits. Kita tahukan, kalau ilmu hadits adalah ilmu yang membahas perihal berita-berita tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, sehingga nggak heran, kalo majelis ilmu yang dipimpinnya selalu diramaikan sama jama’ah yang rindu mendengar kisah-kisah Rasulullah SAW.
            Namanya juga sufi, beliau terbiasa berhati-hati dalam menjaga diri. Konon, saking hati-hatinya, Abdullah bin Mubarak pernah menempuh perjalanan jauh ke kota Damaskus selama berhari-hari, Cuma untuk mengembalikan pena yang dia pinjem dari seorang teman.
            Beliau juga kondang karena kebaikan akhlaknya, sehingga dicintai para ttetangga. Sampai-sampai, ada seorang yahudi tetangganya, sewaktu menjual rumahnya, ia berani kasih harga dua kali lipat dari harga pasaran, yakni 2000 dinar.
            “mahal amat!” gerutu seorang calon pembeli.
            Apa jawab yahudi itu?
            “harga pasaran rumahku ini emang 1000 dinar. Nah, yang 1000 dinar itu harga karena bertetangga sama Ibnul Mubarak.”
            Karena kemahalan, transaksi batal. Tapi, obrolan itu kedengeran sama Ibnul Mubarak. Dia datangi tetangganya itu sambil member uang 1000 dinar dan menyuruhnya agar jangan pindah.
            Yah, begitulah kemuliaan akhlak Abdullah bin Mubarak, sampai-sampai namanya jadi ikut-ikutan menaikkan harga property eh, kok jadi ngaco begini?
            Nah, suatu hari, tiba saatnya musim haji. Badullah bin Mubarak menyambut saat itu denga penuh suka cita dan segera bersiap-siap untuk berangkat dengan para muridnya. Begitu siap, rombongan Abdullah bin Mubarak pun berangkat. Perjalanan bisa memakan waktu sebulan, lho! Iya, kala itu belum ada pesawat terbang atau bus malem, kan? Apalagi busway dan becak way…..
            Rombongan Ibnul Mubarak tiba dan bergabung dengan ribuan jama’ah haji, yang datang dari berbagai penjuru dunia. Mereka berbondong-bondong memasuki kota suci Mekkah. Wah, jalan-jalan Mekkah penuh dengan debu dan orang ytang berlalu lalang. Ramai sekali.
            Beberapa hari kemudian, saat usai melakukan Thawaf atau berjalan mengelilingi ka’bah, karena kelelahan, Ibnul Mubarak mengantuk luar biasa. Saking payahnya, beliau akhirnya tertidur di bawah ka’bah. Waduh, kalo sekarang, beliau pasti sudah diseret sama askar (penjaga) kerajaan. Untung waktu itu belum ada, ya?
            Nah, dalam tidurnya, beliau bermimpi, melihat dua malaikat turun dari langit, dan mengamati para jama’ah yang jumlahnya ribuan orang itu. Mereka tentu bukan Cuma jalan-jalan iseng, Karena ternyata karena ternyata mereka juga sibuk mencatat sana-sini. Iyalah, namanya juga malaikat!
            Malaikat yang satunya bertanya
            “Berapa orang yang pergi haji tahun ini?”
            “Wah, seratus ribu orang lebih,” jawab malaikat kedua sambil memerhatikan catatannya
            “ Lalu, berapa orang yang diterima hajinya?”
            Malaikat kedua membolak-balikan catatannya.
            “Tidak seorang pun,” jawabnya tandas.
            Ibnul Mubarak terkejut mendengar percakapan itu.
            Hah? Bagaimana mungkin? Seratus ribu orang yang pergi haji dari berbagai tempat yang jauh, dengan rambut yang kusut masai terkena debu gurun, dan onta-onta yagn kurus kering, saking jauhnya berjalan. Masa’ iya, tak satupun yang diterima? Apakah malaikat ini salah mencatat atau salah meneliti? Nggak mungkin.
            Saat itulah malaikat kedua berkata,
            “Hei, tunggu, tunggu dulu. Ada, ada kok yang hajinya diterima. Tapi, Cuma satu orang, brother.”
            “siapakah dia?” Tanya malaikat pertama.
            “Namanya…..ah, ini dia. Namanya Ali bin al Muwaffaq.
Dia orang Damaskus. Cuma dia nih, yang ibadah hajinya diterima. Tapi, eh, ini aneh…”
            “Apanya yang aneh?”
            “Maha suci Allah dengan segala karunia-Nya. Hanya dia yang diterima, padahal ia tidak berangkat dan hadir di tanah suci ini.”
            How come? Saking kagetnya, Ibnul Mubarak terjaga dari tidurnya. Sambil menenangkan diri, beliau tercenung. Ia yakin, mimpi itu bukanlah mimpi sembarangan.
            Jadi, diantara ribuan orang ini, hanya satu orang yang diterima? Padahal ia nggak pergi dan hadir di tempat ini? Bagaimana mungkin? Ali bin al Muwaffaq. Siapa dia? Hebat bener nih, orang! Aneka pertanyaan spontan bergelayutan di benaknya.
            Abdullah bin Mubarak jelas penasaran sama mimpinya itu. Makanya, usai musim haji, Ibnul Mubarak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Damaskus. Ia bertekad akan mencari tahu, siapa sih Ibnul Muwaffaq? Kok, bisa-bisanya dia nggak masuk daftar eliminasi sendirian? Pastilah ia seseorang yang amat istimewa, sehingga Allah SWT menghadirkan namanya dalam mimpinya.
            Kita mengerti kenapa Ibnul Mubarak berfikir kayak gitu, karena mimpi seorang mukmin, menurut sabda Nabi Muhammad SAW, adalah 1/46 dari wahyu kenabian.
            Kota Damaskus masih ada sampai sekarang, lho! Yaitu, ibukota Negara Syria. Jaraknya, ribuan kilometer dari kota Mekkah. Jadi, wajar jika sebulan penuh kemudian, Ibnul Mubarak baru tiba di kota Damaskus. Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya Ibnul Mubarak tiba di rumah Ali bin al Muwafffaq, yang ternyata adalah seorang tukang sepatu.
            Tok, tok, tok!
            Pintu terbuka dan seraut wajah ramah dengan air muka berseri-seri, menyambut kedatangannya. Rupanya, Ali bin al Muwaffaq sendirilah yang membuka pintu. Abdullah bin Mubarak lantas memperkenalkan diri, dan ternyata Ali bin al Muwaffaq telah mendengar nama Abdullah bin Mubarak. Wah, jelas dia bahagia banget karena seorang ulama kondang telah datang. Ibnul Muwaffaq memeluknya, dan dengan hangat segera mempersilahkan masuk.
            Usai saling bertegur sapa, akhirnya Ibnul Mubarak menceritakan maksud kedatanganya, tentang mimpinya dan bagaimana malaikat menyebut-nyebut nama Ali bin al Muwaffaq.
            “Padahal mad Ali ndak pergi hajikan, tahun ini?” tegas Ibnul Mubarak.
            “Nggak sama sekali,” jawab Ali bin al Muwaffaq dengan kagetnya. Kalo bukan Abdullah bin Mubarak yang ngomong, mana dia percaya.
            “Nah, mas Ali,” lanjut Ibnul Mubarak dengan penasaran, “kalo gitu, tolong beri tahu saya, apa kira-kira amal perbuatanmu, sehingga kamu bisa begitu beruntung, padahal kamu sendiri nggak pergi haji?”Ali bin al Muwaffaq diam sejenak. Perasaannya campur aduk. Bingung, kaget campur haru, pria separuh baya ini mati-matian menenangkan diri. Akhirnya, lamat-lamat ia berkata,
            “Pak Mubarak, siapa sih yang nggak pengen pergi haji” terus terang aja, bertahun-tahun lamanya saya menabung agar bisa pergi ibadah haji. Semua itu saya kumpulkan dari hasil keringat bikin dan reparasi sepatu, agar ia betul-betul halal. Tahu ini, sebetulnya saya sudah menghitung-hitung, dan saya girang, karena tabungan saya telah mencapai 300 dinar. Pikir saya, h, udah cukup nih, buat bekal menunaikan haji.
            Eh, tepat di hari saya mau berangkat, tiba-tiba bau masakan yang gurih dan lezat, mampir ke rumah kami. Selidik punya selidik, bau itu kayak sop daging, datang dari tetangga sebelah. Asal tau aja. Wahai Ibnul Mubarak, tetangga kami itu janda dengan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Jadi, istri saya bilang; papah, kayaknya mamah ingin nyobain masakan tetangga kita itu. Minta dong, barang semangkok. Jadi, saya pergi dan minta barang semangkok sup.


Ya Allah, saya kaget banget!
Saya pikir, aduh, saya bisa dosa,
Nih! Padahal, saya pernah denger sabda Rasulullah SAW
Nggak Beriman seseorang, kalo kita
Kenyang, sementara tetangga kita
kelaparan

            Eh bukannya ngasih, sambil menangis ibu janda itu bilang, makanan itu nggak halal buat kamu. Saya heran,


             
           
             

           
Dan bertanya pada si ibu tadi kenapa bisa begitu. Akhirya, dia ngaku kalo yang dia masak itu bangkai keledai. Dia bercerita kalo mereka udah nggak makan selama beberapa hari. Jadi, daripada anak-anaknya terus kelaparan, pas ketemu bangkai keledai, dia ambil aja dagingnya dan itulah yang dia masak agar keluarganya bisa makan.”
            “Ya Allah, saya kaget banget!saya pikir, aduh, saya bisa dosa, nih! Padahal, saya pernah dengar sabda Rasul SAW, nggak beriman kita, kalo kita kenyang, sementara tetangga kita kelaparan. Jadinya, tanpa piker panjang, saya serahkan aja 300 dinar hasil tabungan bekal haji saya itu sama dia. Itulah sebabnya saya nggak bisa berangkat pergi menunaikan haji. Tapi, saya lega, pak Mubarak. Setidaknya, saya nggak termasuk muslim yang menyia-nyiakan tetangga.”
            Kini giliran Abdullah bin Mubarak yang terharu. Sekarang, beliau baru sadar, ini dia nih, rahasia di balik mimpinaya itu. Keikhlasan Ibnul Muwaffaq emang bener-bener luar biasa. Dia mampu mengalahkan keinginan dirinya Cuma untuk menolong tetangganya yang kelaparan. Jadi, Abdullah bin Mubarak sadar, wajar aja kalo Ibnul Muwaffaq mendapat kemuliaan yang lebih tinggi, lebih dari orang yang pergi haji.

 Sumber buku : remaja bau sorga