Senin, 23 November 2009

Cerita sahabat Muslim 26


Kemarahan Hatim

            Nah, meski Hatim terkenal karena kelembutan budinya, sesekali waktu dia bisa marah juga lho…..ya iyalah! Namanya juga manusia! Tapi, bedanya, kemarahan Hatim itu bener-bener karena terpaksa, dan alasannya juga kuat, lho!
            Nah, salah seorang murid Hatim, Sa’ad ibnu Muhammad ar-Radhi meriwayatkan, kalo selama bertahun-tahun dia menjadi murid Hatim, selama waktu itu hanya sekali dia melihat Hatim marah besar!
            Ceritanya gini, waktu itu, Hatim pergi ke pasar. Di sana, ia melihat seorang lelaki pedagang makanan lagi marah-marah, sambil mencengkram kerah leher seseorang, yang ternyata adalah salah seorang muridnya. Udah gitu, dia pake teriak-teriak,” ini anak sering banget ngambil makanan daganganku dan ia nggak bayar sepeserpun!”
            “Wahai tuan, berbaik hatilah,” kata Hati lemah lembut sambil berusaha menengahi. Sebetulnya dia malu juga, tapi dia tahu persis, murid-muridnya emang banyak yang miskin, sehingga emang banyak yang minta makan pada orang lain.
            Saya nggak mau berbaik hati. Saya ingin uang saya,” teriak lelaki itu lebih keras lagi.
            Semua perkataan Hatim untuk membujuk lelaki si pedagang itu nggak membawa hasil. Lama-lama, Hati kesel juga. Ini orang kok gak tahu diri bener, sih? Hatim pun marah. Seketika itu juga ia melepaskan jubahnya dan melemparkannya ke tanah ditengah-tengah pasar itu. Seketika, jubah itu penuh dengan koin-koin emas.
            “silakan, ambillah yang menjadi hak kamu, jangan lebih! Kalo nggak, tangan kamu bakal lemah lunglai!” Kata Hatim dengan keras.
            Si pedangan itu buru-buru memunguti koin-koin emas itu sampai sejumlah haknya. Tapi, nah, ini dia, keluar sifat dasar manusianya: rakus! Si pedagang itu masih juga ngambil yang bukan haknya! Seketika itu juga, tangannya menjadi lemah lunglai nggak berdaya.


Sahl dan Amir yang Betobat

            Sahl ibn ‘Abd Allah ibn Yunus, Abu Muhammad al Tustari (wafat pada 283 H), biasa dipanggil Sahl At Tutari, adalah seorang sufi yang dijuluki Shaykh al- ‘arifin, dan Shuufi al Zahid.
            Sejak kecil, umur 3 tahunan, ia sering terbangun di tengah malam, melihat pamannya, Muhammad ibn al-Sawwar, melakukan shalat malam. Diceritakan ia telah menghafal al Qur’an dalam usia 7 tahun, dan hidup sejaman dengan Imam Abu Dawud, seorang imam hadits yang kondang. Ia besar dibawah bimbingan seorang sufi uang juga kondang, Dhu al-Nun al-Misri.
            Nah, seperti juga orang-orang saleh pada jamannya, Sahl terkenal maqbul do’anya. Suatu hari, seorang amir (penguasa) jatuh sakit, sebegitu parahnya, sampai-sampai seluruh tabib angkat tangan. Dalam keadaan lemah, ia bertanya,
            “Apa nggak ada, seorang yang bisa berdo’a bagi kesembuhan saya?”
            Orang-orang pada berbisik. Akhirnya, ada yang menjawab,
            “Sahl aja kayaknya. Kata orang-orang, do’a-do’anya selalu terkabul.”
            Akhirnya dikirimlah utusan, dan Sahl diminta untuk menolong. Dasar Sahl orang saleh, ia pun menyanggupi. Dia dateng dan saat menemui sang Amir, Sahl bilang,
            “do’a Cuma bakal efektif bagi orang yang bener-bener menyesali kesalahannya. Dalam penjara bapak, ada banyak orang-orang yang seharusnya nggak bersalah tapi malah ditahan. Bebaskan mereka.”
            Wah, jaman itu emang jamannya orang enteng aja dijeblosin ke penjara padahal nggak salah apa-apa! Sang Amir pun sadar. Jadi, buru-buru ia perintahkan melepaskan mereka semua, dan ia bertobat habis-habisan. Nah, barulah setelah dia selesai melakukan hal itu, Sahl berdo’a,
            “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menunjukkan kehinaan padanya karena ketidaktahuannya, kini tunjukkanlah kemuliaan padanya karena ketaatannya. Sebagaimana Engkau telah menyelubungi batinnya dengan pakaian tobat, kini selubungilah lahirnya dengan pakaian sehat.”
            Subhanallah, seketika itu juga, baru aja Sahl selesai berdo’a, sang Amir langsung sehat kembali. Waduh, terang aja dia girang bukan kepalang. Buru-buru dia masuk ke dalam, dan keluar dengan setumpuk uang. Eh, Sahl malah menolaknya dan ia langsung pergi meninggalkan istana sang Amir tersebut.
            Rupanya, diantara murid-murid yang ikut Sahl, ada yang merasa sayang juga ngelihat uang sebanyak itu koq dianggurin begitu aja. Salah seorang muridnya lantas bilang,
            “Guru, andai saja anda menerima pemberiannya, kita tentu dapat membayar utang-utang kita. Bukankah itu lebih baik?”
            Sahl tersenyum, lalu menjawab, “apakah kamu butuh emas?lihatlah!”
            Wah, murid Sahl itu melihat dan melongok! Seluruh tanah disekitar tempat itu penuh dengan emas dan batu mirah.
            Sahl berkata, “mengapa seseorang yang menikmati kemurahan hati Allah harus menerima sesuatu dari makhluk-Nya?”
            Sampai di sini nggak diceritakan, apakah emas-emas itu akhirnya diambil sama anak buah Sahl atau nggak. Mestinya sih iya, ya? Tapi itu bukan urusan kita. Dan sepertinya, Sahl lagi mengajarkan, kalo yang namanya keikhlasan karena Allah akan diganti dengan yang lebih baik.
            Buat kita-kita para professional, jangan cemas dulu. Ini bukan berarti kita nggak boleh terima honor, misalnya. Tapi, ada kalanya kehadiran kita perlu untuk diikhlaskan demi menolong orang yang memang bener-bener membutuhkan, bener-bener dengan mengharap ridha Allah.
            Kalo udah gitu, yakin deh, Allah pasti mengganti. Ya, kayak Sahl.

Shalat Tustari & Tetangga Majusinya
            Kisah di bawah ini agak simpang siur. Ada yang mengatakan kalo yang mengalami hal ini adalah Hasan Al Bashri, tapi ada yang bilang, ini kejadian pada Sahl at Tustari. Nah, saya ambil yang riwayatnya tentang Sahl aja, deh.
            Konon, si Sahl ini mempunyai tetangga Majusi dzimmi. Maksudnya tetangga disini bukan sebelah menyebelah, tapi Sahl tinggal dilantai bawah, tetangga majusi itu di atas.
            Nah, tetangganya itu punya WC yang bocor dari sebuah lubang, dan alamak, sebagian airnya mengalir ke salah satu bagian rumah Sahl. Pembantu Sahl sempet mau protes, tapi Sahl justru melarangnya. Malah, setiap hari Sahl meletakkan sebuah bejana tepat di bawah mengalirnya air itu untuk menampungnya. Diam-diam, Sahl lalu membuangnya di malam hari biar nggak ketahuan orang lain. Begitulah terus menerus sampai waktu yang cukup lama.
            Sampai akhirnya, menjelang wafat Sahl minta dipanggilkan tetangganya yang majusi itu. Ia berkata, “kamu masuk deh, dan lihat!”
            Si tetangga itu masuk dan melihat sebuah lobang dan ia bercampur kotoran jatuh dalam bejana. Ia kaget setengah ampun, karena baru sadar betapa air itu dengan aroma nen menawan itu, datang dari kamarnya. Dengan perasaan campur aduk ia bertanya,
            “apakah yang saya lihat ini? Mengapa anda diam saja?”
            “ah, ini sudah berlangsung lama,” jawab Sahl, “ saya mewadahinya di siang hari dan membuangnya di malam hari. Jika bukan karena ajal saya sudah dekat, dan saya khawatir kepada akhlak selainku, niscaya saya nggak bakal ngomong sama kamu soal ini. Sekarang terserah kamu….”
            Wah, udah dirugikan sekian lama Sahl malah ngomong gitu. Coba, siapa yang nggak kagum? Terang aja, sang tetangga majusinya itu merasa takjub. Soalnya, dalam versi yang lain, konon Sahl juga mengatakan, kalo dia nggak mau ngomong dan menegurnya, karena khawatir melukai hati dia sebagai tetangganya, padahal ajaran islam concern bener sama ngejaga hak-hak tetangga.
            Akhirnya, saking kagumnya, dia bilang,
            “wahai Syaikh, anda telah bergaul dengan saya begitu mulia, dan seperti ini terjadi sejak lama dan saya tetap berada di dalam kekufuranku. Ulurkan tangan anda, saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
            Usai mendengar itu, Sahl pun wafat.
            Satu bukti lagi, kalo kemuliaan akhlak bisa mengalahkan banyak hal. Setuju, kan?

           


             
           

Cerita Sahabat Muslim 25


Lelaki Pembobol Kubur

            Suatu hari, Hatim berceramah di Balkh. Di ujung ceramahnya, seperti biasa, Hatim berdo’a, “Ya Allah, siapa pun di majlis ini yang merupakan seorang pendosa terbesar dan terkeji, ampunilah dia.”
            Tanpa Hati sadari, diantara yang hadir di majelisnya itu ada seorang lelaki yang kerjanya mencuri kain kafan dari orang-orang mati. Jadi, kalo orang lain sedih karena ada yang wafat, dia malah senyum simpul kegirangan, karena malemnya, lelaki itu bakal suja cita membongkar makam si mayit dan mencuri kain kafannya. Meski dia denger do’a Hati itu, dia cuek aja. Bisnis mah jalan terus…, gitu..
            Nah, siang itu ternyata ada yang wafat dan dimakamkan sore harinya. Malam itu juga, sang maling kubur itu langsung bersiap melakukan pekerjaan rutinnya. Dengan tenang, ia mulai menggali makam itu. Nah, saat itulah, tiba-tiba ia mendengar suara dari dalam makam yang lagi dia gali,
            “Heh, apa kamu nggak malu? Pagi tadi itu kamu udah diampuni di majelis Hatim, dan mala mini kamu kembali ke pekerjaan lamamu?”
            Lelaki itu sontak meloncat keluar dari makam itu saking kagetnya. Meski ini bukan adegan sinetron, terbirit-birit malem itu juga dia pun lari kencang menuju rumah Harim. Dengan menangis tersedu-sedu, ia ceritakan semua yang dilakukannya dan apa yang telah terjadi di makam. Sejak saat itulah, ia bertobat dari profesinya sebagai pembobol kuburan.
            Nah, menurut sebuah hadits shahih riwayat muslim, hal ini emang bagian dari keutamaan mendo’akan orang lain.
            Menurut hadits itu, kalo kita doyan mendo’akan orang lain itu keistimewaannya ada dua. Pertama, do’a itu biasanya lebih cepat tekabul, dan kedua, do’a yang kita minta buat orang lain itu bakal diaminkan oleh malaikat agar kena ke kita juga! He, he, he…asyik kan?
            Jadi, ayo, biasain deh, berdo’a buat orang lain: temen, sodara, kenalan, sahabat, dan nantikan juga deh, hal-hal yang mengejutkan dalam hari-hari kamu ke depan.

Kemarahan Hatim



            Nah, meski Hatim terkenal karena kelembutan budinya, sesekali waktu dia bisa marah juga lho…..ya iyalah! Namanya juga manusia! Tapi, bedanya, kemarahan Hatim itu bener-bener karena terpaksa, dan alasannya juga kuat, lho!
            Nah, salah seorang murid Hatim, Sa’ad ibnu Muhammad ar-Radhi meriwayatkan, kalo selama bertahun-tahun dia menjadi murid Hatim, selama waktu itu hanya sekali dia melihat Hatim marah besar!
            Ceritanya gini, waktu itu, Hatim pergi ke pasar. Di sana, ia melihat seorang lelaki pedagang makanan lagi marah-marah, sambil mencengkram kerah leher seseorang, yang ternyata adalah salah seorang muridnya. Udah gitu, dia pake teriak-teriak,” ini anak sering banget ngambil makanan daganganku dan ia nggak bayar sepeserpun!”
            “Wahai tuan, berbaik hatilah,” kata Hati lemah lembut sambil berusaha menengahi. Sebetulnya dia malu juga, tapi dia tahu persis, murid-muridnya emang banyak yang miskin, sehingga emang banyak yang minta makan pada orang lain.
            Saya nggak mau berbaik hati. Saya ingin uang saya,” teriak lelaki itu lebih keras lagi.
            Semua perkataan Hatim untuk membujuk lelaki si pedagang itu nggak membawa hasil. Lama-lama, Hati kesel juga. Ini orang kok gak tahu diri bener, sih? Hatim pun marah. Seketika itu juga ia melepaskan jubahnya dan melemparkannya ke tanah ditengah-tengah pasar itu. Seketika, jubah itu penuh dengan koin-koin emas.
            “silakan, ambillah yang menjadi hak kamu, jangan lebih! Kalo nggak, tangan kamu bakal lemah lunglai!” Kata Hatim dengan keras.
            Si pedangan itu buru-buru memunguti koin-koin emas itu sampai sejumlah haknya. Tapi, nah, ini dia, keluar sifat dasar manusianya: rakus! Si pedagang itu masih juga ngambil yang bukan haknya! Seketika itu juga, tangannya menjadi lemah lunglai nggak berdaya.